Filosofi PHK Dalam Perspektif Orang Sedang Jatuh Cinta

Seorang buruh perempuan membentangkan spanduk bertuliskan: Tolak PHK Sepihak.

Jakarta, KPonline – Mungkin kita tidak saling mengenal. Maksudku, bisa jadi kamu tak pernah melihatku. Tetapi aku pernah berada di dekatmu. Memperhatikanmu dengan cermat.

Saat itu aku terpukau dengan caramu memegang spanduk bertuliskan: Menolak PHK Sepihak.

Bacaan Lainnya

Sejak saat itu, aku tak ragu untuk jujur mengakui, bahwa aku terpesona dengan caramu menyampaikan tuntutan.

Dari rona wajah dan senyum indah di bibirmu, aku tahu engkau masih muda. Mungkin kita sebaya. Tetapi dalam hal ini, aku merasa sikapmu jauh lebih dewasa.

Banyak orang yang pasrah dan menyerah ketika berada dalam situasi sepertimu. Tetapi kamu tidak. Keteguhanmu dalam berjuang mengesankan bagiku.

Aku bahkan melihat ketika seseorang mendekatimu. Tidak sepertiku yang tak kamu kenal, kukira kalian saling mengenal. Lelaki itu, mungkin pacarmu.

Di PHK sepihak, kata lelaki itu, ibarat putus cinta. Kalau sudah begini, tak ada lagi yang perlu diratapi. Lupakan dan segera cari lagi pengganti.

Cinta itu impas. Saling menerima dan memberi. Jika sudah ya sudah, jangan diiungkit-ungkit lagi. Bukankah sebuah hubungan akan sehat jika dua insan saling menginginkan? Begitu cowok itu berfilosofi.

PHK disetarakan dengan percintaan. Jika sudah tidak ada lagi kecocokan. Hati tak bisa dipaksakan.

Saat lelaki itu mengatakan ini kepadamu, raut wajahmu nampak datar. Lalu engkau mengibaskan tangan sembari berkata, “Ngomong apo to mas…”

Aku yang saat itu berada di dekatmu tersenyum. Semakin kagum.

Sudah kuduga, lelaki itu merayumu agar menghentikan aksimu. Memintsmu agar tidak mempermasalahkan PHK sepihak itu. Dengan rayuan palsu.

Pernah kudengar, hubungan karyawan dan perusahaan diibaratkan suami istri — yang mungkin saja bisa bercerai. Tetapi karena kamu belum menikah, dia lebih suka menggunakan istilah lain: cinta.

“Cinta itu memuliakan, bukan dengan seenaknya mencampakkan,” aku menguping percakapanmu dengan laki-laki itu.

“Dan kalian keliru. Dalam kerja posisi kita setara. Tidak seperti asmara yang membuat seseorang bisa jatuh cinta, tak pernah ada jatuh kerja,” kalimat indah yang selalu kukenang.

“Jika kalian menghendaki kami berhenti menuntut, pada saat yang sama kami juga akan mengatakan, berhentilah mengintimidasi dan mengebiri hak-hak kami. Penuhi tuntutan kami.”

Aku tak mengenalmu. Tetapi aku merasa semakin dekat denganmu. Barangkali, apa yang kamu sampaikan adalah juga suara hatiku.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar