Keselamatan Kerja Milik Siapa ?

Menjadi seorang Safety Officer bukan perkara mudah. Sebagai seorang yang peduli terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja, tak jarang aku malah dianggap sebagai pengganggu, si cerewet, bahkan penghambat proses kerja mereka.

Di sisi lain, menjalankan pekerjaan ini juga menyenangkan. Membanggakan malah. Terutama ketika berhasil mengubah cara pandang pekerja yang kadang buruk terhadap segala hal berbau safety; membuat mereka sadar bahwa keselamatan adalah hal utama di tempat kerja.

Bacaan Lainnya

3 bulan yang lalu, hal semacam itu pernah aku alami.

Waktu itu, aku sedang menginspeksi area kerja, tempatnya dibagian belakang gedung plant 2 produksi. Dari kejauhan aku melihat seorang pekerja sedang melakukan pengelasan di ketinggian. Semua APD tampak sudah dia kenakan, kecuali Body Harness. Kesalahan fatal untuk ukuran kerja di ketinggian, tentunya.

Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan menghampirinya. Dengan sedikit teriakan disertai isyarat tangan, aku menyuruhnya turun. Pria tersebut manut.

Walau berada di satu area kerja yang sama, momen ini pastinya adalah ajang tatap muka langsung kami untuk pertama kali. Aku memang tidak mengurusi pekerja di wilayah ini. Pasalnya, kami beda perusahaan aku bekerja diperusahaan yang saat ini aku bekerja sementara pria itu sebagai pekerja kontraktor.

“Ada apa, ya?” tanya pria itu setelah membuka Face Shield yang menyelubungi kepalanya. Perawakannya ternyata tinggi besar. Rada-rada kekar dan berotot. Tipikal pria pekerja keras.

“Saya tadi lihat Anda enggak pakai Body Harness, padahal sedang bekerja di ketinggian. Tolong, nanti dipakai itu Body Harness-nya, Pak,” jawabku.

Tamat aku berujar demikian, air muka pria itu segera berubah. Dahinya mengkerut. Pandangnya menajam.

“Memangnya Anda siapa?” sahut pria itu dengan nada yang tiba-tiba meninggi.

Beberapa pekerja sekitar terlihat menoleh ke arah kami. Aku mengangguk sambil mengangkat telapak tangan kanan, mengisyaratkan bahwa tidak terjadi apa-apa antara aku dan pria di hadapanku itu.

“Saya Irul. Safety Officer,” balasku singkat.

Pria tersebut tidak terlihat gentar.

“Tapi saya belum pernah melihat Anda,” tukasnya dengan kasar.

“Iya, mungkin karena kita beda perusahaan, Pak” jawabku.

Tak kusangka, jawaban ini membuatnya gusar. Dihempaskannya Face Shield yang sedari tadi dipegang. Pun dengan sarung tangannya.

“Kalau beda perusahaan, berarti apa yang ada di sini bukan urusan Anda,” jawabnya sambil melangkahkan kaki ke arahku. “Mau saya pakai Harness atau enggak, itu bukan urusan Anda!” tambahnya menekankan kemarahan.

Aku sempat tersentak oleh pernyataan itu. Namun, bagiku tugas Safety Officer adalah tugas kemanusiaan. Jadi, selama ada orang yang melakukan tindakan tidak aman, di sana lah aku merasa harus turun tangan.

“Tenang, Pak. Saya kan negur secara baik-baik,” jawabku sambil mengangkat kedua tangan.

“Sebaiknya Anda segera pergi dari sini,” hardik pria itu.

“Saya akan pergi setelah Anda mengenakan Body Harness,” jawabku.

“Eeeh… ngajak berantem ini orang!” timpal pria itu dengan nada lebih geram.

Pria tersebut mendekatkan lagi tubuhnya kemudian mendorongku secara kasar dengan kedua tangannya. Napasnya terlihat naik turun. Menahan amarah.

Dengan cepat tiga orang pekerja yang sedari tadi tampak memperhatikan kami menghampiri dan mencoba melerai. Satu orang segera menempatkan dirinya di tengah-tengah kami, mencoba  memisahkan. Sementara dua orang lainnya menahan si pria kekar dari samping kiri dan kanannya.

“Ada apa ini, bapak-bapak?” tanya si pria yang berada di antara aku dan si pria kekar.

Si pria kekar menjawab menggebu, “Ini orang ribet amat sih, nih. Mending kalau dia sebagai atasan kita. Padahal dia beda tempat kerja tuh,” jawabnya.

“Pak, saya cuma mengingatkan. Dalam peraturan sudah jelas bahwa jika bekerja di atas ketinggian 1.8 meter, wajib hukumnya pakai Body Harness.” Jawabku. “lha ini, saya taksir Anda kerja di ketinggian lebih dari 2 meter. Jelas, sudah lebih dari wajib pakai Harness,” imbuhku.

“Anda boleh ngomong kayak gitu sama pekerja yang jadi tanggung jawab Anda. Saya kan bukan tanggung jawab Anda,” jawabnya sambil mengacungkan telunjuknya ke arah wajahku.

“Tenang! Tenang!” saran si pria pemisah kami.

“Di sini juga ada pengawasnya, Pak. Jangan seenaknya!” tambah si pria kekar.

Aku sama sekali tidak heran dengan kelakuan pria itu. Pekerja yang ngeyel memang sudah biasa aku hadapi. Walaupun yang mirip si pria kekar ini memang baru aku jumpai kali ini.

“Baiklah, Pak…” aku kembali bersuara.

“Secara struktural, saya memang tidak bertanggung jawab pada Anda. Tapi, sebagai manusia yang kebetulan dititipi jabatan sebagai Safety Officer, saya merasa ikut bertanggung jawab terhadap keselamatan nyawa Anda, bahkan hal tersebut saya lakukan karena berpedoman pada Standard Operating Procedure Permit To Work · Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K3; · Standar ISO 45001:2018. ” ucapku dengan tenang.

Aku mencoba menghampiri pria kekar tersebut dan meminta kedua orang yang sedari tadi memeganginya untuk melepaskannya.

“Lebih dari itu, saya juga merasa bertanggung jawab untuk memenuhi harapan keluarga Anda di rumah yang selalu mengharapkan Anda untuk pulang dengan selamat,” ucapku tegas.

“Anda harus tahu, betapa berharganya keselamatan Anda bagi orang-orang tercinta,” tutupku.

Suasana hening. Si pria kekar tidak menimpal. Ketiga rekannya pun tak ada yang angkat bicara. Aku berlalu meninggalkan mereka.

Menjelang jam pulang, dia mendatangiku dan meminta maaf. Pria itu mengatakan bahwa saat mendengar penjelasanku, dia langsung teringat pada istrinya di rumah yang tengah hamil anak ke-dua. Saat itu dia menyadari bahwa keselamatan kerja bukan hanya miliknya. Tapi juga orang yang mencinta dan dicinta olehnya

Cerpen ini merupakan juara 2 lomba menulis cerpen yang di adakan oleh media perdjoeangan dalam rangka hari buruh 2024

Pos terkait