Ketika Negara Menstandarkan Upah Hanya untuk Pekerja Lajang

Ketika Negara Menstandarkan Upah Hanya untuk Pekerja Lajang

Purwakarta, KPonline — Wacana dan realita mengenai upah minimum di Indonesia selalu menjadi perbincangan hangat, terutama setelah munculnya pernyataan bahwa upah minimum seharusnya ditujukan hanya untuk pekerja lajang, bukan untuk menopang kebutuhan keluarga. Tentu saja, pernyataan ini bukan hanya memantik kontroversi, tetapi juga membuka diskursus lebih dalam soal keadilan sosial dan kesejahteraan pekerja di Indonesia.

Dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL). Namun dalam praktiknya, kebutuhan hidup layak yang dihitung dan dijadikan acuan untuk menetapkan upah minimum, nyatanya masih merujuk pada asumsi standar pekerja lajang, tanpa tanggungan, tanpa keluarga.

Bacaan Lainnya

Artinya, pendekatan ini menyederhanakan kompleksitas kehidupan nyata pekerja. Dimana, mayoritas pekerja di Indonesia adalah kepala keluarga. Ketika standar upah minimum ditentukan berdasarkan asumsi individu lajang, maka jelas ini menafikan realita sosial pekerja atau buruh.

Dihimpun dari berbagai sumber yang ada, saat ini menunjukkan bahwa lebih dari 80% pekerja sektor formal dan informal yang menerima upah minimum adalah mereka yang telah menikah dan memiliki anak. Dengan demikian, upah minimum yang hanya cukup untuk satu orang, jelas tidak memadai untuk menopang kehidupan keluarga.

Oleh karena itu, upah minimum saat ini bisa dikatakan tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Karena, pemerintah dan pengusaha masih menggunakan pendekatan konservatif dalam menentukan nilai upah.

Kementerian Ketenagakerjaan dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa upah minimum merupakan jaring pengaman untuk pekerja pemula atau mereka yang memiliki masa kerja kurang dari satu tahun. Bagi pekerja yang sudah berpengalaman atau memiliki tanggungan, upah yang diberikan seharusnya dinegosiasikan berdasarkan struktur dan skala upah yang adil di masing-masing perusahaan. Namun sayangnya, implementasi sistem skala upah ini masih lemah dan sering diabaikan oleh pemberi kerja.

Salah satu lembaga riset ekonomi di negeri ini mencatat bahwa biaya hidup di kota-kota besar seperti Jakarta, Bekasi, Surabaya, dan Batam (Riau) sangatlah tinggi. Sehingga, pekerja lajang pun dituntut untuk memiliki penghasilan minimal dua kali lipat dari UMP (Upah Minimum Provinsi) hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja, seperti tempat tinggal, makan, transportasi, dan kesehatan. Dengan demikian, jika pekerja harus menanggung keluarga, angka ideal upah tentu harus lebih tinggi lagi.

Situasi ini memperlihatkan adanya paradoks struktural dalam kebijakan pengupahan. Dimana, negara masih menetapkan standar upah berdasarkan kerangka hidup minimalis yang tidak mencerminkan kondisi nyata pekerja. Alih-alih menjadi alat keadilan ekonomi, upah minimum justru bisa menjadi alat ketidaksetaraan jika terus disandarkan pada model pekerja lajang.

Sejumlah akademisi dan aktivis ketenagakerjaan pun mendorong revisi pengupahan ini. Mereka menuntut agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap standar KHL, memperluas partisipasi serikat pekerja dalam dewan pengupahan, dan menjadikan kebutuhan riil keluarga sebagai dasar utama dalam menentukan upah minimum. Karena hanya dengan begitu, upah minimum benar-benar dapat menjadi alat untuk menjamin kehidupan yang layak. Bukan hanya untuk satu individu, tapi untuk sebuah keluarga.

Pos terkait