Takut di PHK? Saatnya Bangkit dan Berserikat

Takut di PHK? Saatnya Bangkit dan Berserikat

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali menghantui para pekerja di Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, ratusan hingga puluhan ribu buruh dari berbagai sektor. Mulai dari industri manufaktur, tekstil, hingga teknologi, terpaksa harus angkat kaki dari tempat kerja mereka.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, sepanjang Januari-April 2025, setidaknya sudah ada 70.000-an pekerja yang jadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Terbaru, kata dia, PHK terjadi di PT. Maruwa Indonesia yang berlokasi Batam. Dia mengungkapkan, perusahaan manufaktur yang telah beroperasi sejak 1999 itu secara mendadak menghentikan seluruh operasionalnya di Kawasan Industri Bintang Industri II, Tanjung Uncang, Batuaji, sejak awal April 2025.

Sekitar 205 pekerja, terdiri dari 49 karyawan tetap dan 156 kontrak-tiba-tiba menghadapi PHK tanpa ada kepastian pesangon,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (26/5/2025).

Iqbal membeberkan data dari Litbang Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja (KSP-PB) yang mencatat, sepanjang Januari hingga Maret 2025, telah terjadi PHK massal di 40 perusahaan, dengan total korban mencapai 60 ribu buruh.

“Namun hanya dalam waktu satu bulan berikutnya, angka ini melonjak. Per April 2025, sudah 80 perusahaan melakukan PHK dan jumlah buruh yang kehilangan pekerjaan mencapai 70 ribu orang. Ini berarti jumlah perusahaan yang melakukan PHK meningkat dua kali lipat hanya dalam empat bulan pertama 2025,” tukasnya.

“Sayangnya, Menteri Ketenagakerjaan justru menyampaikan data yang berbeda dari yang dilansir KSP-PB. Dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Menaker menyebutkan, jumlah pekerja yang terkena PHK dari Januari hingga April 2025 hanya 26 ribu orang. Pernyataan ini bertolak belakang dengan data-data yang ada,” ucapnya.

Dia pun mempertanyakan data PHK yang dimiliki pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

Sebab, sambung Iqbal, Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat peningkatan jumlah pengangguran sebesar 80 ribu orang. Di mana, definisi pengangguran menurut BPS adalah mereka yang bekerja kurang dari satu jam dalam seminggu. Hal ini, sebutnya, mencerminkan adanya PHK.

Belum lagi, tambah dia, APINDO dan BPJS Ketenagakerjaan menyampaikan, sekitar 73.000 orang telah mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) pada periode Januari-April 2025. Syarat utama pencairan JHT adalah status PHK.

Bahkan, tukasnya, APINDO pernah memprediksi angka PHK di Indonesia bisa mencapai 250.000-an orang di tahun 2025 ini.

“Kemudian, BPJS Ketenagakerjaan melansir, buruh yang sudah mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam rentang waktu Januari-April 2025 sebanyak 52 ribuan orang. Itu artinya, setidaknya ada 52 ribuan orang buruh yang ter-PHK hingga April 2025, mengingat syarat untuk mendapatkan JKP adalah buruh yang ter-PHK dalam bulan tersebut,” bebernya.

“Mengapa data Kemnaker hanya 26 ribu? Itu jelas manipulatif, seolah ingin memoles citra di hadapan Presiden. Ini bukan sekadar salah data, tapi berpotensi terjadi kebohongan publik,” cetus Iqbal yang juga Presiden Partai Buruh.

Karena itu, Iqbal mendesak pemerintah segera membentuk Satgas Nasional PHK.

Kata dia, Satgas ini penting agar ada satu sumber data yang sahih untuk kemudian dilakukan pemetaan. Dan selanjutnya bisa dilakukan klasifikasi penyebab serta perumusan solusi untuk menyelamatkan nasib buruh dan keluarganya.

Bayang-bayang PHK kini menjadi momok yang nyata. Namun, di balik ketakutan itu, ada satu kekuatan yang sering terlupakan, yaitu “serikat pekerja atau serikat buruh”.

Sayangnya, di Indonesia, tingkat kesadaran berserikat masih sangat rendah. Hanya sekitar 6% dari total angkatan kerja formal yang tergabung dalam serikat buruh. Rendahnya tingkat literasi hukum ketenagakerjaan dan tekanan dari atasan menjadi dua penyebab utama. Banyak pekerja tidak mengetahui bahwa berserikat adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Namun, harapan belum sepenuhnya padam. Di sejumlah daerah, mulai muncul gerakan buruh akar rumput yang menyuarakan pentingnya bersatu dan membangun kekuatan kolektif.

“Serikat buruh bukan sekadar alat perlawanan, tapi juga wadah solidaritas dan pendidikan, dan pekerja perlu melihat serikat sebagai rumah bersama, bukan sekadar organisasi pelengkap”

Di era ketidakpastian ini, berserikat bukan hanya soal bertahan, tetapi soal memperjuangkan masa depan. Ketakutan terhadap PHK memang nyata, tetapi membiarkan diri terisolasi dan terpecah-pecah justru memperbesar risiko ketidakadilan. Saatnya buruh bersatu. Saatnya tidak hanya bekerja, tetapi juga berjuang.

Ayo berserikat, sebelum semuanya terlambat.