Jika Benar BPJS Kesehatan Tidak Tanggung 8 Penyakit, Hal Itu Merupakan Bentuk Pengkhianatan

Dirut BPJS Kesehatan, Presiden KSPI, dan Deputi Presiden KSPI.

Jakarta, KPonline – BPJS Kesehatan mengalami defisit mencapai Rp 9 triliun. Solusi yang akan diambil untuk mengatasi defisit, BPJS Kesehatan berencana tidak akan menanggung 8 penyakit. Imbasnya, mereka melontarkan wacana cost-sharing untuk delapan penyakit kronis seperti jantung, kangker, gagal ginjal, stroke, talasmis, sirosis, leukemia, dan hemofilia.

Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, biaya yang harus dirogoh BPJS Kesehatan untuk penyakit tersebut cukup besar. Untuk jantung misalnya, sepanjang tahun 2016 kemarin, BPJS Kesehatan harus mengeluarkan 7,465 triliun. Sedangkan untuk penyakit kanker sebesar 2,35 trilyun, gagal ginjal 2,592 trilyun, stroke 1,288 trilyun, talasmis 485,192 milyar, sirosis 232,958 milyar, leukemia 183,295 milyar, dan hemofilia 119,64 milyar.

Bacaan Lainnya

Jika ditotal, menurut Fahmi, biaya yang harus ditanggung BPJS Kesehatan adalah 14,692 trilyun atau 21,84% dari total seluruh biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan.

Di sisi lain, besarnya biaya yang harus dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk pelayanan kesehatan 8 penyakit tersebut membuktikan bahwa keberadaan lembaga ini sangat dirasakan manfaatnya. Masyarakat yang tadinya tidak memiliki kesempatan untuk berobat karena biaya yang mahalnya ngaudzubillah itu kini kembali memiliki harapan. Jika kemudian biaya pengobatan untuk penyakit tersebut tidak lagi sepenuhnya ditanggung BPJS Kesehatan, sama saja memaksa masyarakat kecil mati perlahan digerogoti penyakitnya.

Apapun alasannya, dengan tidak ditanggungnya 8 penyakit oleh BPJS Kesehatan merupakan sebuah pengkhianatan. Bukankah sehat adalah hak rakyat?

BPJS Kesehatan dilahirkan untuk menjawab permasalahan, dimana banyak orang miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk berobat di rumah sakit. Istilah yang dulu sering digunakan adalah, orang miskin dilarang sakit. Sebab ketika si miskin sakit, dia akan terlantar tanpa pengobatan. Banyak yang akhirnya mati sebelum mendapatkan penanganan di rumah sakit.

Untuk bisa dirawat di rumah sakit membutuhkan biaya yang sangat besar. Bahkan kalaupun pasien tersebut tergolong mampu, jika sakit kronis, bisa menjadi Sadikin. Sakit dikit langsung miskin.

BPJS Kesehatan lahir karena amanah konstitusi, bahwa sehat adalah hak rakyat. Karena itu, menjadi tanggungjawab negara untuk mewujudkannya. Adapun konsep yang dibangun, salah satunya adalah dengan gotong royong.

Konsep gotong royong itulah yang kemudian membedakan kepesertaan BPJS Kesehatan menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan bukan PBI. Peserta jaminan Kesehatan bukan PBI meliputi Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya dan pekerja bukan penerima upah. Sedangkan peserta PBI iurannya dibayarkan oleh pemerintah.

Jika kemudian ada 8 penyakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan, pertanyaannya kemudian, akan ditanggung oleh siapa? Masyarakat yang harus membiayai sendiri untuk mengobati penyakitnya? Bukankah BPJS Kesehatan akan menerapkan universal coverage (seluruh penduduk menjadi peserta program jaminan kesehatan)?

Hal yang mengejutkan, wacana cost-sharing untuk 8 penyakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan justru dilontarkan dari dalam BPJS Kesehatan. Padahal lembaga ini hanya sekedar regulator. Hanya menjalankan amanah Undang-Undang. Bukannya bekerja maksimal agar tidak ada lagi masyarakat yang ditolak ketika berobat, yang dilakukan justru membuka peluang yang memungkinkan banyak orang miskin terbengkalai ketika berobat.

Hal ini bisa saja diartikan sebagai bentuk lepas tangan dari BPJS Kesehatan terhadap amanah konstitusi. Ingat, BPJS Kesehatan adalah amanah rakyat. Bukan lagi Perseroan Terbatas (PT) yang bertugas menumpuk-numpuk keuntungan. Tidak ada istilah defisit untuk melayani kesehatan masyarakat. Daripada APBN dan APBD dicuri para koruptor untuk memperkaya diri sendiri.

Jika memang merasa sudah tidak mampu, ada baiknya para direksi BPJS Kesehatan mengundurkan diri saja. Jangan korbankan hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Pos terkait