Demonstrasi atau Aksi, Ibarat Senjata Usang Yang Sudah Tidak Mempan Menembak ‘Burung Emprit’

Purwakarta, KPonline – Mogok kerja atau pemogokan adalah peristiwa demonstrasi atau aksi unjuk rasa dimana sejumlah besar pekerja atau karyawan di perusahaan berhenti bekerja sebagai bentuk protes. Jika tidak tercapai persetujuan antara mereka dengan majikan mereka, maka mogok kerja dapat terus berlangsung hingga tuntutan para karyawan terpenuhi atau setidaknya tercapai sebuah kesepakatan.

Pemogokan kadang digunakan pula dalam menekan pemerintah untuk mengganti suatu kebijakan. Pemogokan pun dinilai dapat mengguncang stabilitas kekuasaan partai politik tertentu. Suatu contoh terkemuka adalah pemogokan galangan kapal Gdańsk yang dipimpin oleh Lech Wałęsa. Pemogokan ini bernilai penting dalam perubahan politik di Polandia dan merupakan suatu upaya mobilisasi yang penting, sehingga memiliki kontribusi terhadap runtuhnya pemerintahan komunis di Eropa Timur.

Bacaan Lainnya

Selanjutnya, mogok kerja atau pemogokan melalui demonstrasi atau aksi unjuk rasa bisa dikatakan sebagai senjata ampuh kelas pekerja atau kaum buruh untuk mencapai suatu tujuan atau keinginan.

Bahkan, dalam Undang-undang Tenaga Kerja di banyak negara, termasuk Indonesia, mogok kerja merupakan hak setiap pekerja atau karyawan.

Namun, seiring berjalannya waktu. “Pemogokan atau Demonstrasi atau Aksi Unjuk Rasa kini bagaikan senjata usang yang tidak mempan untuk menembak burung Emprit’ sekalipun”

Banyaknya Serikat Buruh atau Serikat Pekerja (SP/SB) dan memiliki banyak anggota, bukan lagi jaminan untuk menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan dalam suatu pemogokan atau demonstrasi atau aksi unjuk rasa.

Kenapa?

Kekompakan dan kesolidan sudah tidak terlihat lagi dikalangan kelas pekerja atau kaum buruh.

Dalam beberapa rangkaian demonstrasi atau aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kelas pekerja atau kaum buruh melalui berbagai serikat pekerja atau serikat buruh. Walaupun masif, tapi terlihat terpisah dalam pelaksanaannya dan itu menggambarkan bahwa mereka sebenarnya tidak lagi sejalan (tidak kompak).


Ketua Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KC FSPMI) Purwakarta, Fuad BM mengatakan kepada Media Perdjoeangan bahwa pekerja atau buruh itu sudah tidak kompak.

“Jangankan antar serikat pekerja, di dalam satu serikat pekerja saja, anggota sudah tidak kompak dan solid lagi,” kata Fuad.

Ditambah dengan kurangnya ide, dan gagasan perjuangan yang hanya selalu diutarakan oleh seorang Said Iqbal, menjadi salah faktor kemunduran gerakan kelas pekerja atau kaum buruh saat ini. Kembali ujarnya

Dan kalau saya boleh bertanya, apa sih sebenarnya yang diperjuangkan serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB) untuk anggotanya?

“Terus kita mau melawan hegemoni yang begitu menguasai sistem dengan keadaan tidak kompak dan solid. Kalau iya, sama saja bunuh diri,” tegas Fuad

Selanjutnya, Fuad BM pun menjelaskan. Kita berbicara realita, bukan angan-angan. Apa yang dimiliki kaum buruh saat ini? Stasiun Televisi sendiri gak punya. Rumah sakit, apalagi. Transportasi publik juga tidak punya. Apalagi alat propaganda yang mutakhir pun gak punya. Satu-satunya alat yang dimiliki adalah koran Perdjoeangan yang kini sudah kurang dibaca dan diminati oleh anggota. Ujarnya

Saya pikir inilah akhir dari kejayaan demo atau aksi. Buruh harus memulai perlawanan dengan cara-cara lain. Kuasai Media dan Transportasi dahulu. Kemudian, buruh harus hadir dan duduk menguasai menjadi perangkat-perangkat di Pemerintahan. Baru setelah semua hal itu dilakukan, kelas pekerja atau kaum buruh bisa berkuasa. Tutup Fuad

Pos terkait