Catatan Akhir Tahun FSPMI: Negara Tersandera Kekuatan Modal

Jakarta, KPonline – Sepanjang tahun 2016, tercatat ada 4 (empat) aksi besar yang dilakukan oleh FSPMI. Aksi besar ini melibatkan puluhan ribu buruh, dan dilakukan di berbagai provinsi secara serentak.

Aksi besar pertama di tahun 2016 dilakukan pada tanggal 6 Februari. Ini adalah aksi yang dilakukan FSPMI untuk memperingati HUT FSPMI ke-17. Dalam aksi ini, tema yang diangkat adalah Tolak PHK dan Tolak Upah Murah.

Bacaan Lainnya

Kedua, aksi May Day 2016. Dalam peringatan hari buruh Internasional ini, FSPMI mengusung 3 tuntutan dan satu deklarasi. Tiga tuntutan tersebut adalah: (1) Cabut PP 78/2015 – Tolak Upah Murah – Naikkan Upah Minimum 2017 Sebesar 650 ribu; (2) Stop Kriminalisasi Buruh dan PHK; dan (3) Tolak Reklamasi, Penggusuran, dan Tax Amnesty. Sedangkan satu deklarasi yang dimaksud adalah deklarasi Ormas Rumah Rakyat Indonesia.

Aksi besar ketiga terjadi pada tanggal 29 September 2016. Dalam aksi ini, tuntutan utama yang diangkat adalah (1) Cabut PP 78/2015, Tolak Upah Murah, Naikkan Upah Minimum 650 Ribu dan (2) Cabut UU Tax Amnesty.

Selanjutnya adalah aksi 2 Desember 2016, dengan tuntutan (1) Cabut PP 78/2015, Tolak Upah Murah, Naikkan Upah Minimum 15 – 20 persen; dan (2) Cabut Tax Amnesty.

Aksi nasional FSPMI pada tahun 2016 beserta tuntutannya.
Aksi nasional FSPMI pada tahun 2016 beserta tuntutannya.

Itulah sebabnya, sepanjang tahun 2016, isu perjuangan FSPMI yang paling menonjol adalah terkait dengan isu upah (Cabut PP 78/2015 – Tolak Upah Murah – Naikkan Upah 650 Ribu). Menariknya, isu upah mewarnai sepanjang tahun, dari Januari hingga Desember 2016. Hal ini, karena, hampir dalam setiap aksi yang dilakukan, buruh selalu mengusung isu upah.

Namun demikian, perjuangan buruh terkait upah seperti membentur tembok tebal. Pemerintah belum bersedia mencabut PP 78/2015. Sementara uji materi yang diajukan buruh ke MA di putus NO. Ironisnya, dalam acara ILO di Bali, Wapres Jusuf Kalla membanggakan struktur kenaikan upah ala Indonesia dan meminta negara-negara lain mencontoh Indonesia. Ini artinya, harapan agar Pemerintah mencabut PP 78/2015 masih jauh panggang dari api.

Tahun 2016, perjuangan FSPMI yang menonjol adalah ketika menentang kebijakan tax amnesty. Buruh menganggap kebijakan ini tidak adil. Dimana buruh yang taat membayar pajak diberi upah murah melalui tax amnesty, tetapi pengusaha pengemplang pajak justru diampuni. Meskipun upaya FSPMI mengajukan uji materi kandas di tangan Hakim Mahkamah Konstitusi, tetapi perjuangan ini sudah menempatkan kelas buruh sebagai kontrol sosial yang paling militan terhadap kebijakan pemerintah.

Penggusuran dan reklamasi yang juga di tolak oleh buruh pun terus terjadi. Dalam situasi gerakan buruh dan rakyat terus tertekan, wacana revisi UU 13/2003 semakin menguat. Wajar jika kaum buruh berkesimpulan, negara tersandera oleh kekuatan modal. Banyak hak buruh dihilangkan, sedangkan kebijakan pemerintah sangat pro kepada pemodal. (*)

Baca juga: 

1. CatatanAkhir Tahun FSPMI: Negara Tersandera Kekuatan Modal

2. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Jaminan Sosial Masih Jauh dari Harapan

3. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Tax Amnesty, Penggusuran, dan Reklamasi

4. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Buruh Pertegas Sikap Terkait Politik

5. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Kriminalisasi, Upaya Membungkam Sikap Kritis Gerakan Buruh

6. Catatan Akhir Tahun FSPMI: PP 78/2015, Biang Upah Murah dan Omong Kosong Dialog Sosial

7. Catatan Akhir Tahun FSPMI: PHK Massal, Bukti Paket Kebijakan Ekonomi Tak Banyak Berarti

Pos terkait