Catatan Akhir Tahun 2017: Nilai PTKP (Rencananya) Diturunkan, Kebijakan Ala Kompeni

sri mulyani batalkan ptkp

Jakarta, KPonline – Dalam rangka mendorong pendapatan dari sektor pajak, Pemerintah berencana menurunkan jumlah pendapatan tidak kena pajak (PTKP), disesuaikan dengan besaran upah minimum. Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016, nilai PTKP adalah Rp 54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan.

Jika PTKP jadi diturunkan sesuai dengan upah minimum, pengenaan maka seluruh pekerja akan dikenai pajak penghasilan. Dan karena rata-rata pekerja Indonesia upahnya adalah upah minimum, setelah dipotong pajak, maka upah yang mereka terima akan menjadi di bawah upah minimum. Kebijakan ini tentu saja akan memangkas daya beli.

Bacaan Lainnya

FSPMI-KSPI menuding kebijakan ini hanya akal-akalan dan merugikan kaum menengah ke bawah.

Sebelumnya, buruh mengajukan uji materi UU Pengampunan Pajak di Mahkamah Konstitusi. Saat itu, Pemerintah menyatakan bahwa pekerja yang upahnya minimum tidak dikenakan pajak. Hal ini, karena, nilai PTKP adalah di atas upah minimum (sebesar 4,5 juta).

Belakangan, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan tax amnesty, PTKP akan diturunkan kembali. Daripada menaikkan PTKP, seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah mengejar para pengemplang pajak untuk menunaikan kewajibannya. Mengapa penjahat pajak diampuni dan justru kita para buruh yang dipajakin? Fairness-nya sudah nggak ada sama sekali. Rencana pemerintah menurunkan PTKP tidak memberi rasa keadilan bagi buruh.

Alasan Buruh Menolak PTKP

Pertama daya beli buruh masih rendah. Jika PTKP diturunkan, maka daya beli akan semakin memburuk. Upah buruh yang masih rendah itu akan diperparah dengan akan adanya pengeluaran yang harus dibayar, yaitu pajak. Hal itu akan membebani buruh. Indikator menurunnya daya beli, salah satunya adalah penjualan motor turun 7 persen, dan penjualan mobil turun 5.7 persen. Rumah murah yang targetnya 1 juta rumah tidak tercapai. Ibu rumah tangga paling merasakan dampaknya, ketika hampir semua kebutuhan naik. Apa yang dilakukan pemerintah ini mirip dengan VOC, yang menarik upeti dari rakyat.

Kedua, kebijakan ini terkesan akal-akalan. Dulu ketika membuat kebijakan UU Tax Amnesty, dalihnya adalah untuk menarik repatriasi dan deklarasi. Setelah tahun pertama dibebaskan, mustinya tahun kedua mereka sudah harus membayar pajaknya. Kemana pajak hasil deklarasi dan repatriasi yang katanya 4000 T lebih itu? Ini yang kita tidak setuju. Rasa ketidakadilan kita tercederai. Ini orang kaya diampuni, orang miskin dikejar-kejar pajaknya.

Ketiga, ketika KSPI mengajukan judicial review terhadap UU Tax Amnesty, salah satu argumentasi pemerintah adalah buruh tidak bayar pajak. Argumentasi pemerintah tersebut didahului dengan menaikkan PTKP dari 3 juta menjadi 4.5 juta.

Keempat, kita tidak bisa membandingkan antar negara tanpa melihat faktor-faktor ekonomi yang lain. Perbandingan negara apple to apple. Malaysia dan Thailand itu pendapatan perkapitanya sudah bagus. Sementara Indonesia daya belinya rendah. Berdasarkan data ILO, upah rata-rata Indonesia masih rendah. Upah rata-rata Thailand adalah 357 dollar, Malaysia 506 dollat, Filipina 206 dollar, dan Indonesia hanya 174 dollar.

Upahnya paling rendah di negara ASEAN, tetapi PTKP nya mau diturunkan sehingga buruh yang upahnya sudah rendah harus dipajaki pula. Cara berfikir seperti inilah yang akan kita lawan. Jokowi harusnya mencabut PP 78/2015 dan juga menurunkan harga Tarif Dasar Listril ( TDL) agar daya beli buruh dan masyarakat kembali naik.

Pos terkait