Catatan Akhir Tahun FSPMI: PP 78/2015 Biang Upah Murah dan Omong Kosong Dialog Sosial

Catatan Akhir Tahun FSPMI: PP 78/2015 Biang Upah Murah dan Omong Kosong Dialog Sosial

Jakarta, KPonline – Meskipun menyadari bahwa keberadaa PP 78/2015 akan membuat upah tersistematis menjadi murah, namun FSPMI tidak berkecil hati. Berbagai aksi dilakukan hampir di semua daerah secara bergelombang. Puncaknya, FSPMI bersama-sama dengan KSPI dan elemen buruh yang lain melakukan unjuk rasa nasional bersamaan dengan Aksi Bela Islam, pada 2 Desember.

Di beberapa daerah, buruh berhasil menyakinkan Gubernur untuk menetapkan UMP di atas PP 78/2015. Hal ini terjadi di Provinsi Aceh. Daerah lain yang menerapkan UMP lebih tinggi dari PP 78/2015 adalah Maluku Utara, NTT, dan Sulsel memutus UMP lebih baik dari PP 78/2015. Sedangkan di tingkat Kabupaten/Kota, UMK yang lebih tinggi dari formula PP 78/2015 antara lain terjadi di Medan (11,5%), dan Jepara (18,52%).

Bacaan Lainnya

Namun demikian, di hampir di semua daerah, kenaikan upah hanya sebesar 8,25%. Ini jauh dari kebutuhan hidup layak sebesar 3,8 juta, sebagaimana hasil survey yang dilakukan oleh kaum buruh.

FSPMI sendiri mengusung tuntutan kenaikan UMP/UMK sebesar 650 ribu, dan/atau 15-20 persen. Di beberapa daerah, Dewan Pengupahan telah menyepakati kenaikan UMK yang nilainya lebih besar dari ketentuan PP 78/2015. Namun sayangnya, kesepakatan ini sia-sia. Para Gubernur justru mengabaikan kesepakatan dan menetapkan uaph minimum sesesuai dengan PP 78/2015.

Itu artinya, sudah tidak ada lagi dialog sosial dalam penetapan upah minimum. Pemerintah yang selama ini menggembar-gemborkan pentingnya dialog sosial ibarat menjilat ludahnya sendiri. Kesepakatan bersama yang mestinya sebagai dasar hukum tertinggi diabaikan begitu saja.

Sikap keras kepala Pemerintah yang tidak mau mencabut PP 78/2015 juga ditunjukkan oleh Wapres Jusuf Kalla saat membukan acara ILO di Bali. Ketika itu, Wapres membanggakan formula kenaikan upah minimum di Indonesia yang berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi (formula PP 78/2015), bahkan meminta negara-negara di Asia Pacific meniru kebijakan Indonesia. Sontak pernyataan Wapres menuai reaksi keras dari buruh, khususnya yang tergabung dalam FSPMI-KSPI.

Sementara itu, upaya buruh melakukan judicial review PP 78/2015 ke MA juga belum berhasil. MA memutus NO gugatan yang diajukan serikat buruh.

Terkait dengan hal itu, nampaknya pada tahun 2017, masih akan diwarnai perjuangan cabut PP 78/2015 dan tolak upah murah. Saat ini FSPMI dan elemen buruh yang lain sedang mempersiapkan gugatan PTUN terhadap SK UMP/UMK serta mengajukan gugatan baru terhadap judicial review PP 78/2015. (*)

Baca juga: 

1. CatatanAkhir Tahun FSPMI: Negara Tersandera Kekuatan Modal

2. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Jaminan Sosial Masih Jauh dari Harapan

3. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Tax Amnesty, Penggusuran, dan Reklamasi

4. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Buruh Pertegas Sikap Terkait Politik

5. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Kriminalisasi, Upaya Membungkam Sikap Kritis Gerakan Buruh

6. Catatan Akhir Tahun FSPMI: PP 78/2015, Biang Upah Murah dan Omong Kosong Dialog Sosial

7. Catatan Akhir Tahun FSPMI: PHK Massal, Bukti Paket Kebijakan Ekonomi Tak Banyak Berarti

Pos terkait