Catatan Akhir Tahun FSPMI: Tax Amnesty, Penggusuran, dan Reklamasi

Jakarta, KPonline – Sebagaimana disebutkan di atas, isu tolak Tax Amnesty, Penggusuran, dan Reklamasi adalah isu May Day FSPMI. Jadi ini sama sekali bukan isu baru.

Tax Amnesty

Bacaan Lainnya

Buruh mengajukan uji materi UU Tax Amnesty di MK. Meskipun kemudian gugatan buruh terkait tax amnesty dikalahkan oleh Hakim MK, tetapi kesadaran buruh terkait politik anggaran mulai terbuka. Ini sekaligus menegaskan bahwa perjuangan FSPMI sudah melampaui dinding pabrik – dengan menuntut negara agar mensejahterakan rakyatnya.

Alasan FSPMI menolak Tax Amnesty adalah sebagai berikut:

Pertama, tax amnesty mencederai rasa keadilan kaum buruh sebagai pembayar pajak PPh 21 yang taat. Di sisi lain, ketika buruh terlambat membayar, akan dikenakan denda. Tetapi giliran pengusaha yang maling pajak, justru diampuni. Ketidakadilan yang dirasakan kaum buruh semakin memuncak, ketika Pemerintah menerbitkan PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Kedua, tax amnesty telah menggadaikan hukum dengan uang demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Ini sama saja dengan menghukum mereka yang aktif membayar pajak dengan memberikan keringanan melalui pengampunan para maling pajak. Padahal, UUD 1945 menyatakan setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Dengan demikian, adanya tax amnesty berarti antara buruh dan pengusaha tidak sama kedudukannya dalam hukum.

Ketiga, Dana denda dari hasil pengampunan pajak sebesar Rp 165 triliun yang dimasukkan dalam APBN-P 2016 adalah dana ilegal-haram karena sumber dananya berasal dari pengampunan pajak yang jelas-jelas melanggar UUD 45.

Keempat, dalam UU Tax Amnesty dikatakan bagi pegawai pajak atau siapa pun yang membuka data para pengemplang pajak dari dana yang ada di luar negeri/repatriasi maupun dari dalam negeri/deklarasi maka akan dihukum penjara lima tahun. Jelas hal ini bertentangan dengan UUD 1945, karena mana mungkin orang yang mengungkapkan kebenaran malah di hukum penjara.

Kelima, dalam UU Tax Amnesty disebutkan bahwa tidak peduli asal usul dana repatriasi dan deklarasi tersebut. Ada kesan, yang penting ada dana masuk tanpa mempedulikan dari mana sumbernya. Jelas hal ini berbahaya karena bisa saja terjadi pencucian uang dari dana korupsi, perdagangan manusia, hingga hasil kejahatan narkoba. Hal ini pun melanggar UUD 1945 yang berarti negara melindungi kejahatan luar biasa terhadap manusia.

Penggusuran dan Reklamasi

FSPMI mengangkat isu reklamasi dan penggusuran, atas pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, ada buruh pelabuhan dan buruh informal di Pasar ikan, Kalijodo atau pun tempat penggusuran Kampung Pulo. Sebagian buruh pelabuhan ikut menjadi korban revitalisasi kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Dalam gal ini, kebijakan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama merevitaliassi kawasan Pasar Ikan membuat sebagian buruh pelabuhan kehilangan mata pencarian.

Kedua, reklamasi ini mengancam kehidupan nelayan dan lingkungan. Sedangkan yang ketiga, penggusuran terhadap orang-orang kecil merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Itulah sebabnya, ketika penggusuran dan reklamasi dilakukan secara masif di Jakarta, buruh menjuluki Ahok sebagai Bapak Upah Murah, Bapak Tukang Gusur Rakyat Kecil, dan Bapak Penista Agama. Julukan terakhir diberikan buruh, karena Ahok sebagai pejabat publik telah memberikan komentar yang berbau SARA. (*)

Baca juga: 

1. CatatanAkhir Tahun FSPMI: Negara Tersandera Kekuatan Modal

2. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Jaminan Sosial Masih Jauh dari Harapan

3. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Tax Amnesty, Penggusuran, dan Reklamasi

4. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Buruh Pertegas Sikap Terkait Politik

5. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Kriminalisasi, Upaya Membungkam Sikap Kritis Gerakan Buruh

6. Catatan Akhir Tahun FSPMI: PP 78/2015, Biang Upah Murah dan Omong Kosong Dialog Sosial

7. Catatan Akhir Tahun FSPMI: PHK Massal, Bukti Paket Kebijakan Ekonomi Tak Banyak Berarti

Pos terkait