Kepastian Kerja Yang Tidak Jelas Melalui Undang-Undang Cipta Kerja

Buruh tolak omnibus law RUU Cipta Kerja.

Purwakarta, KPonline – Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja lewat Omnibus Law menurut kacamata kelas pekerja atau kaum buruh dinilai sangat merugikan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah sebagian ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan salah satunya adalah terkait ketentuan Outsourcing.

Bacaan Lainnya

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan mengatur batasan jenis kegiatan yang dapat dikerjakan buruh Outsourcing. Misalnya, tidak boleh melaksanakan kegiatan pokok atau berhubungan langsung dengan proses produksi, buruh Outsourcing hanya mengerjakan kegiatan penunjang saja. Namun, dalam UU Cipta Kerja menghapus batasan tersebut.

Pasal 66 UU Ketenagakerjaan menyebutkan;

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Dalam UU Cipta Kerja diubah menjadi:

(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(2) Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.

(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.

(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam UU UU Cipta Kerja, Pasal 66 ayat 1 di UU Ketenagakerjaan dihapus. Ayat yang dihapus berisi tentang pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi

Jadi tidak ada lagi pembatasan kegiatan usaha utama dan penunjang. Pekerja Outsourcing saat ini bisa dilibatkan secara langsung untuk pekerjaan inti (utama) atau proses produksi perusahaan.

Pada akhirnya, karena UU Cipta Kerja, bisa dipastikan perusahaan akan lebih memilih untuk melibatkan pekerja outsourcing dalam proses produksi dan bukan tidak mungkin mekanisme pemutihan bisa terjadi.

Selanjutnya, perusahaan tidak akan memperpanjang kontrak karyawan/ perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) mereka saat ini dan bahkan mungkin akan memberhentikan pekerja dengan kompensasi pesangon sebelum pekerja mamasuki masa pensiun karena dengan optimalisasi pekerja outsourcing bisa menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi pengusaha.

Seperti diketahui, buruh atau pekerja yang melakukan pekerjaan outsourcing memiliki kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan karyawan kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan karyawan tetap di perusahaan.

Selain itu, dalam PP 35/2021, PKWT berdasarkan jangka waktu dapat berlangsung selama 5 tahun. Perusahaan diperbolehkan memperpanjang PKWT yang telah selesai maksimal selama 5 tahun
Masa perpanjangan PKWT dilakukan seusai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja dengan ketentuan jangka waktu tidak lebih dari 5 tahun.

Sementara, ketentuan mengenai PKWT sebelumnya diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

UU Ketenagakerjaan mengatur, jangka waktu PKWT maksimal selama tiga tahun, dengan rincian dua tahun kontrak dan perpanjangan maksimal setahun.

Dengan demikian, akibat UU Cipta kerja dan PP tersebut, dampak kepastian kerja yang tidak jelas bagi pekerja disebuah perusahaan akan terjadi.

Pos terkait