Gonjang Ganjing PMK 51 di Mata Relawan Jamkeswatch

Jakarta, KPonline – Hiruk pikuk peserta BPJS Kesehatan ketika di minta urun biaya sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 51 tahun 2018 yang sudah diberlakukan oleh pihak rumah sakit (RS)
membuat relawan Jamkeswatch resah dengan adanya PMK tersebut.

“Ini yang di namakan orang miskin di larang sakit, aturan aturannya merugikan peserta BPJS Kesehatan.
Blundernya Kemenkes bercanda dengan PMK 51/ 2018.” ujar Budi Susanto, relawan Jamkeswatch DKI.

Bacaan Lainnya

Menurutnya gonjang – ganjing beredarnya PMK 51/2018 ini membuat para relawan kesehatan tertawa sumbang. Lho kok sumbang ? Pastinya, antara senang tidak perlu lagi repot repot melakukan advokasi pasien karena bila aturan diberlakukan dengan baik maka fasilitas fasilitas kesehatan sudah akan memberikan hak sehat pasien JKN dengan semesti nya sesuai dengan regulasi. Atau sebaliknya semakin sibuk dengan tumpukan laporan dari peserta JKN KIS yang merasa terdzolimi karena hak sehatnya tidak terakomodir dengan semestinya sesuai dengan regulasi regulasi yang ada.

Bayangkan bila saat ini saja, masih banyak fasilitas kesehatan di tingkat RS tipe C – RS tipe A yang gagal faham dengan adanya permenkes 28 tahun 2015. Yang salah 1 pasalnya adalah terkait hak titipan kelas rawat inap, masih sering dipermainkan dengan alasan hak kelas rawat inap (ranap) penuh dan pasien di lempar dengan rujukan lepas (di rujuk ke RS lain untuk cari ruang ranap).

“Dalam PMK 51 pasal 10 ayat 5, naik kelas rawat inap boleh tapi hanya 1 tingkat di atasnya. Jadi kalau pun ada kelas ruang ranap bagi peserta JKN KIS yg kosong, tapi adanya 2 tingkat di atas hak kelas ranap nya, sama dengan peserta JKN KIS jadi pasien umum. Kan tidak boleh naik kelas ranap 2 tingkat, curang aja.” ujar Budi sambil tertawa dengan aturan ini.

“Mirisnya lagi peserta JKN KIS meski mau tanda tangan demi dapat haknya naik kelas ranap bila hak kelas ranap nya penuh, dan bayar selisih ruang ranap sebesar 10% dari tarif INA CBGs… Curang lagi…” lanjut Budi memaparkan dengan gamblang.

Belum lagi bila harus antri ke poli dan nomor antrian habis maka mau tidak mau bila merasa jauh dari rumah ke faskes maka bayar paling tidak merogoh saku minimal nya Rp.20.000 buat ke RS tipe A – B. Jika ke RS tipe C – D Rp.10.000.

Tidak berasa mahal memang bagi orang orang yang berkelebihan, tapi bagi sebagian orang yang hidupnya masih dalam standar atau mungkin dibawah bawah standar nominal ini lumayan relatif besar bila harus bolak – balik ke faskes. Karena biaya biaya tersebut belum terhitung biaya tranportasi dan akomodasi selama dalam menjalani pengobatan.

“Belum lagi bila kita bicara PBI, PPU non aktif yang sudah dipastikan tidak boleh minta hak naik kelas, jika kamar kamar ranap penuh apakah pasien harus pulang lagi?” tanyanya.

Miris memang miris, karena sebahagian peserta JKN KIS dari kelas masyarakat yang notabene mampu akan lebih lagi menikmati keberadaan PMK 51. Dengan bahasa yang menyiratkan boleh dengan semua seleranya asal sesuai dengan apa yang ada di regulasi, padahal jika mereka tergolong orang mampu kenapa tidak dibuatkan saja peraturan menteri kesehatan bagi mereka?

“Untuk saya sebagai relawan kesehatan Jamkeswatch, JKN adalah nafas dari amanah UUD 45 yang seharusnya bisa dirasakan suka cita bagi semua, tanpa harus ada yang merasa di korban kan. Selain itu sebagai relawan Jamkeswatch yang notabene selalu di lapangan dan sebagai pengawas serta pemantau jaminan kesehatan menuntut agar segera revisi dan hilangkan pasal 81 perpres 82/2018 tentang iuran biaya serta cabut dan anulir PMK 51 tahun 2018 tentang iur biaya.” pungkas Budi menyampaikan harapannya.

(Omp/jim).

Pos terkait