Catatan Akhir Tahun FSPMI: Kriminalisasi, Upaya Membungkam Sikap Kritis Gerakan Buruh

Meski dikriminalisasi, tak menyurutkan langkah para aktivis buruh untuk terus berjuang.

Jakarta, KPonline – Aksi kaum buruh yang dilakukan pada tanggal 30 Oktober 2015 di Istana Negara menuntut pencabutan PP 78/2015 dibubarkan paksa oleh pihak kepolisian. Sejumlah buruh ditangkap dan kemudian dijadikan 26 orang dijadikan tersangka.

Persidangan terhadap 26 aktivis, dimana 5 orang diantaranya adalah anggota FSPMI, mulai berlangsung pada tahun 2016. Sejak awal pesidangan, kaum buruh sudah melakukan pengawalan. Buruh menyatakan persidangan ini akan menjadi panggung perlawanan.

Bacaan Lainnya

Puncaknya adalah ketika Hakim PN Jakarta Pusat memutus ke-26 aktivis bebas, karena tidak terbukti melakukan apa yang disangkakan oleh Jaksa. Kemenangan ini menjadi oase di tengah berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang tak kunjung selesai.

Upaya buruh melawan kriminalisasi, juga dilakukan ketika terjadi pergantian Kapolri. Ketika itu, buruh kembali bersuara untuk mengingatkan kepada Kepolisian, bahwa polisi bukanlah alat gebug. Hendaknya Polisi menangani demo buruh dengan persuasif.

Dalam hal ini, FSPMI memiliki catatan buruk atas kinerja Kepolisian. Beberapa di antaranya adalah, kriminalisasi dan kekerasan dalam aksi buruh menolak PP 78/2015 di Istana Negara pada tanggal 30 Oktober 2015, penggusuran dengan kekerasan di Jakarta dan beberapa daerah lain, dan baru-baru ini diduga melakukan kriminalisasi terhadap guru Samhudi di Sidoarjo.

“Polisi dilahirkan dari darahnya mahasiswa, para aktivis, termasuk buruh ada di dalamnya. Polisi adalah anak kandung dari reformasi,” kata Presiden FSPMI yang dikutip banyak media.

Buruh mengingatkan kepada polisi untuk menegakkan hukum, mengayomi dan melayani, bukan menggunakan pendekatan kekuasaan dan kekuatan. Karena itulah polisi langsung berada di bawah Presiden. Tidak lagi menjadi bagian dari TNI atau dulu yang disebut ABRI. Polisi harus dikembalikan sebagai alat sipil. Dia bukan alat gebuk atau alat menakut-nakuti. Polisi bukan alat intimidasi, bukan alat untuk melawan kekuatan rakyat, buruh, dan mahasiswa yang ingin memperjuangkan kesejahteraan.”

Tak berapa lama setelah putusan bebas 26 aktivis dibacakan, Presiden KSPI (kebetulan juga Presiden FSPMI) dipanggil sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana kejahatan terhadap negara/makar. Hal yang sama juga dilakukan pemanggilan terhadap Sekjend KSPI. Buruh menilai, hal ini adalah pembungkaman terhadap aktivis yang kritis terhadap pemerintah.

Untuk melawan isu makar, kaum buruh melakukan kampanye di media sosial, dengan membuat hastag #PerjuanganBuruhBukanMakar. (*)

Baca juga: 

1. CatatanAkhir Tahun FSPMI: Negara Tersandera Kekuatan Modal

2. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Jaminan Sosial Masih Jauh dari Harapan

3. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Tax Amnesty, Penggusuran, dan Reklamasi

4. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Buruh Pertegas Sikap Terkait Politik

5. Catatan Akhir Tahun FSPMI: Kriminalisasi, Upaya Membungkam Sikap Kritis Gerakan Buruh

6. Catatan Akhir Tahun FSPMI: PP 78/2015, Biang Upah Murah dan Omong Kosong Dialog Sosial

7. Catatan Akhir Tahun FSPMI: PHK Massal, Bukti Paket Kebijakan Ekonomi Tak Banyak Berarti

Pos terkait