Buruh Migran di Perlakukan Buruk, Qatar Kini Mulai Berbenah

Doha,KPonline – Setelah menuai banyak kecaman dan tekanan dari berbagai pihak akhirnya Qatar menghapus persyaratan visa keluar (exit visa) bagi semua pekerja migran.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengatakan, Kamis (16/1), Qatar telah menghapus persyaratan visa keluar (exit visa) bagi semua pekerja migran.

Bacaan Lainnya

ILO menyatakan langkah itu merupakan sebuah terobosan dalam usaha reformasi negara Arab itu menjelang Piala Dunia FIFA 2022.

Organisasi PBB yang menangani urusan buruh itu mengatakan, legislasi buruh itu memungkinkan hampir semua pekerja migran di Qatar meninggalkan negara itu tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari perusahaan mereka.

Visa keluar merupakan bagian dari sistem kafala, yang menurut para pengecam membatasi hak-hak buruh dan memungkinkan terjadinya penindasan.

Qatar mengubah undang-undang perburuhannya pada Oktober 2018 untuk menghapus keharusan bagi hampir semua pekerja di sektor swasta memperoleh visa keluar. Namun, penerapan UU itu sepenuhnya dijalankan baru-baru ini.

Legislasi itu berlaku bagi para pembantu rumah tangga, mereka yang bekerja di industri minyak dan gas, mereka yang bekerja di laut dan mereka yang bekerja di sektor pertanian. ILO mengatakan legislasi itu tidak berlaku bagi para angota angkatan bersenjata dan mereka yang memegang posisi penting di perusahaan-perusahaan.

“ILO menyambut hangat perubahan ini, yang akan menguntungkan banyak pekerja migran di Qatar,” kata Houtan Homayounpour, kepala perwakilan ILO di Qatar. “Penghapusan syarat visa keluar merupakan terobosan penting pemerintah dalam agenda reformasi buruh.”

Selama ini banyak organisasi HAM menuding Qatar dan negara-negara Teluk lain yang kaya minyak yang sangat tergantung pada buruh migran — memperlakukan buruh dengan semena-mena.

Persiapan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, yang dilakukan Qatar, mengungkap praktik-praktik tersebut. Bahkan tim sepakbola Liverpool bersama Jurgen Klopp menolak hotel mewah karena latar belakang yang buruk dalam pembangunannya.

Menurut laporan Athletic, Liverpool melakukan penolakan setelah mengutus delegasi ke Qatar.

Pada Oktober 2018, penyelidikan Guardian mengungkapkan pekerja migran yang dipekerjakan hotel Marsa Malaz Kempinski mendapatkan gaji di bawah upah minimum dan melanggar undang-undang perburuhan.

Athletic menambahkan, Liverpool kini memberi tahu FIFA dan pihak berwenang Qatar tentang keputusan mereka dan memilih pindah ke sebuah hotel di daratan yang tidak menimbulkan kekhawatiran semacam itu.

Langkah Liverpool mencari penginapan lain atas kemauan sendiri diprediksi akan meningkatkan pengawasan terhadap Qatar yang selama ini diisukan kerap terlibat atas kasus pelecehan pekerja migran.

Qatar mendapat kecaman atas apa yang digambarkan oleh kelompok-kelompok HAM sebagai kondisi pekerja yang buruk. Ini telah diatasi dengan memberlakukan program reformasi luas untuk menjaga hak-hak pekerja dan meningkatkan citra di luar negeri.

Negara Teluk itu bergantung pada sekitar 2 juta pekerja migran untuk sebagian besar tenaga kerjanya, terutama dari negara-negara Asia seperti Nepal, India dan Filipina.

Negara telah menghapuskan visa keluar bagi sebagian besar pekerja, menerapkan upah minimum, dan membentuk komite penyelesaian perselisihan untuk mempercepat pengaduan tentang upah yang belum dibayarkan.

Tetapi sebuah laporan baru dari Amnesty International menjelaskan bagaimana ratusan pekerja masih tidak dapat memperoleh kembali gaji yang belum dibayarkan, terlepas dari komite resolusi

Pos terkait