Analisis Singkat Kunjungan Kerja DPD RI ke Timika Terkait Freeport

Timika, KPonline – Beberapa waktu lalu, koranperdjoeangan.com mendapatkan informasi dari DPC SPKEP SPSI Kabupaten Timika mengenai analisis singkat terkait kunjungan kerja Pimpinan dan anggota DPD RI ke Mimika berkenaan dengan penyerapan aspirasi masyarakat dan daerah berkenaan dengan tindakan merupakan pekerja yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.

Adapun analisis tersebut, sebagai berikut:

Pendahuluan

Sabtu (19/8/2017) eks karyawan PT Freeport Indonesia melakukan demonstrasi yang berujung ricuh. Kronologisnya, para demonstrans dalam jumlah besar melakukan: (1) mengkonfrontasi petugas keamanan di Check Point 28 pukul 14.00 WP, (2) menutup lalu lintas menuju Tembagapura termasuk ke Bandara Mozes Kilangin Timika, (3) membakar dua unit truk & memblokade jalan utama tambang, ungkap Vice President PT Freeport Riza Pratama (Detiknews, 19/8/2017).

Demo ricuh yang terjadi di PT Freeport Indonesia pada tanggal 19 Agustus 2017 ini diduga merupakan rentetan dari belum terselesainya kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia di Timika. Diduga dampak dari tidak selesainya kesepakatan tersebut, maka PT Freeport Indonesia merumahkan sekitar 4000 karyawannya mulai dari level bawah sampai level atas.

Tindakan merumahkan (Furlough) karyawan itu disertai dengan tindakan lain berupa penghentian dan/atau tidak dibayarkannya hak-hak karyawan yang seharusnya diberikan seperti pembayaran gaji tidak sepenuhnya dan pembayaran iuran BPJS yang dilakukan dengan diskriminatif — yakni hanya terhadap pegawai level rendah. Bahkan terindikasi, tindakan merumahkan karyawan merupakan tindakan PHK terselubung yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.

Jika di runut dari beberapa pemberitaan yang dilansir media maka perihal ketidakharmonisan hubungan kerja antara PT Freeport Indonesia dengan karyawan (khususnya lokal) bukan kali ini saja. Bahkan sejarah panjang, tarik ulur, negosiasi yang alot perihal kontrak karya antara PT Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia juga turut mewarnai didalamnya.

Peristiwa di Check Point 28 bisa jadi menjadi puncak dari beberapa dugaan perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia terhadap karyawan lokalnya atau penduduk sekitar. Salah satunya adalah perihal perbedaan pembagian bonus karyawan yang terjadi pada September 2016 silam. Sebanyak 800 pekerja tambang terbuka dirumahkan dan sekitar 3000 pekerja kontrak di PHK sebagai buntut demo yang mereka lakukan karena menuntut keadilan bonus. Seturut dengan itu, sebagai solidaritas atas perumahan dan PHK yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia maka demonstrasi meluas dan semakin banyak jumlahnya sejak Mei 2017.

PT Freeport Indonesia dan bersikeras tidak akan merubah sikapnya dalam merumahkan karyawan, dan menganggap tidak ada yang salah dengan prosedur PHK tersebut. Penyebabnya karyawan melakukan demo yang menyebabkan berturut-turut lebih dari 5 hari tidak masuk kerja, sehingga menjadi alasan PT Freeport Indonesia untuk melakukan PHK terhadap karyawan-karyawan tersebut.

Namun sebelum PHK, dengan kebijakannya PT Freeport Indonesia merumahkan karyawan. Lebih lanjut PT Freeport Indonesia menyatakan bahwa dalam hal karyawan tersebut akan bekerja kembali di PT Freeport Indonesia maka harus melalui prosedur rekrutmen yang dilakukan oleh kontraktor PT Freeport Indonesia.

Tidak hanya itu, terungkap dalam pemberitaan media bahwa Pemda Timika telah angkat tangan dalam menangani persoalan di atas. Berbagai upaya persuasif yang dilakukan oleh Pemda Timika untuk mencari jalan tengah dari persoalan itu melalui pertemuan dengan pihak karyawan maupun PT Freeport Indonesia belum membuahkan hasil. Pemda Timika menyerahkan persoalan ini kepada Pemerintah Pusat.

Bahwa terkait dengan persoalan tersebut di atas, upaya telah dilakukan oleh DPD RI untuk mendalami, menengahi dan menyelesaikan persoalan menyangkut tindakan merumahkan karyawan PT Freeport Indonesia, yakni sbb:

Komite III DPD RI selaku alat kelengkapan yang membidangi ketenagakerjaan saat melakukan kunjungan kerja ke Papua (sekitar April 2017) juga melakukan pertemuan dengan Wakil Bupati Kabupatan Mimika, Bapak Yohanis Bassang, SE.,M.Si didampingi para Kepala Dinas di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Mimika, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Mimika, Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), Serikat pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan Humas dari PT Freeport Indonesia, Bapak Hari.

Akan tetapi dari pertemuan tersebut hingga belum ada tindak lanjut nyata dari PT FI untuk memperbaiki kondisi dan/atau memberikan solusi yang terbaik bagi penyelesaian masalah.

Urgensi Delegasi Pimpinan DPD RI Melakukan Kunjungan Kerja ke Papua

Berangkat dari hal tersebut di atas, serta fakta adanya aspirasi masyarakat dan daerah yakni Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan PT Freeport Indonesia yang diterima oleh Pimpinan DPD RI terkait dengan permintaan dan/permohonan agar DPD RI mengupayakan solusi alternatif dari persoalan merumahkan (Fulough) karyawan yang dilakukan PT Freeport Indonesia, maka DPD RI mengambil langkah untuk melakukan kunjungan kerja ke Papua yang secara khusus dilakukan dalam rangka mendalami persoalan dan secara nyata memberikan alternatif solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.

Dalam pandangan DPD RI, tindakan merumahkan (Furlough) karyawan PT Freeport Indonesia bukan lagi persoalan ketenagakerjaan internal antara PT Freeport Indonesia dengan 4000 karyawan semata, tetapi telah menjadi persoalan nasional bangsa Indonesia yang menyangkut dan terkait dengan berbagai dimensi dan dampaknya.

Pertama: Dari Sisi Hak Asasi Manusia

Tindakan PT Freeport Indonesia patut diduga telah bertentangan konstitusi UUD 1945 yakni Pasal 27 ayat (2) tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Tindakan PT Freeport Indonesia juga patut diduga telah melanggar Universal Declaration of Human Right Pasal 23 yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran; tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama, adil dan menguntungkan serta perlindungan sosial lainnya.

Esksistensi PT Freeport Indonesia yang merupakan perusahaan yang berafiliasi dengan Freeport-McMoRan (FCX) merupakan perusahaan tambang internasional di Amerika Serikat sepatutnya menghormati dan melaksanakan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam lamannya yang beralamat di https://ptfi.co.id/id/about/governance, PT Freeport Indonesia menyatakan dengan tegas komitmennya untuk menegakan dan menghormati HAM, sebagai berikut:

PT Freeport Indonesia melalui perusahaan induknya ikut menandatangani Prinsip-prinsip Sukarela tentang Keamanan dan Hak Asasi Manusia dari Kementerian Luar Negeri AS dan Kementerian Luar Negeri Kerajaan Inggris (U.S. State Department-British Foreign Office Voluntary Principles on Security and Human Rights). Kami berkomitmen memastikan bahwa kegiatan kami dijalankan sesuai dengan Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia, undang-undang dan peraturan Indonesia serta budaya dari masyarakat yang merupakan penduduk asli di wilayah operasi perusahaan.

Kedua: Dari Sisi Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial

Tindakan PT Freeport Indonesia patut diduga telah bertentangan dengan ketentuan di bidang ketenagakerjaan khususnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan lain yang terkait. Tindakan merumahkan karyawan patut diduga merupakan tindakan terselebung dan upaya penyelundupan hukum terhadap upaya PHK Karyawan. Nyata dan jelas dalam UU Ketenagakerjaan sebagai hukum yang ada dan diberlakukan di Indonesia untuk semua badan hukum termasuk PT Freeport Indonesia telah diatur prosedur dan tata cara untuk melakukan PHK karyawan.

Dalam UU Ketenagakerjaan tidak terdapat istilah dan definisi merumahkan karyawan. Istilah merumahkan merupakan istilah yang muncul dari ungkapan-ungkapan umum masyarakat awam dalam relasi hubungan ketenagakerjaan. Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa PT Freeport Indonesia saat ini telah melakukan Lock Out atau Penutupan perusahaan dimana PT FI menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.

Bahwa dalam hal PT Freeport Indonesia hendak melakukan Lock Out maka wajib dipenuhi prosedur sebagaimana UU Ketenagakerjaan, antara lain harus menyebutkan alasan dan sebab dilakukannya Lock Out serta melaporkan kepada instansi yang berwenang. Hal mana hingga kin belum dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. Namun demikian dinyatakan tegas dalam Pasal 147 UU Ketenagakerjaan, Lock Out dilarang dilakukan oleh beberapa jenis perusahaan salah satunya perusahaan yang bergerak di bidang salah satunya pengolahan minyak dan gas bumi.

Ketiga: Dari Sisi Pengelolaan Industri Ekstraktif

Bahwa sebagaimana amanah konstitusi Pasal 33 UUD 1945 seyogyanya pengelolaan industri ekstraktif harus ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Sejak keberadaannya di Indonesia, harus diakui PT Freeport Indonesia telah memberikan kontribusi dalam percepatan pembangunan Indonesia khususnya di Papua.

Namun seiring dengan pengundangan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), maka konstribusi tersebut dipandang harus ditingkatkan seiring dengan profit yang diterima PT Freeport Indonesia. Sebagai ilustrasi, sepanjang tahun 2016 PT Freeport Indonesia membukukan pendapatan sebesar US$ 3,29 miliar atau sekitar Rp 44 triliun. Angka itu melonjak 24 persen dibandingkan 2015 sebesar US$ 2,65 miliar atau sekitar Rp 35,3 triliun.

Namun dari peningkatan royalti yang diterima negara, baru diperoleh oleh Indonesia beberapa tahun ini saja — setelah negosiasi yang sangat alot. Setelah beberapa tahun Indonesia hanya menerima royalti sebesar 3,5% dari tembaga dan masing-masing 1 5 dari emas dan perak, maka saat ini Indonesia menerima kenaikan royalti sebesar 4% dari tembaga, 3,5% dari emas dan 3,75 % dari perak.

Keempat: Dari Penguatan Ekonomi dan Investasi Serta Alih Teknologi

Bagi Indonesia, bahwa masuknya investasi asing ke Indonesia selain memberi penguatan atas ekonomi Indonesia selayaknya juga memberi dampak pada terjadinya alih teknologi di Indonesia. Secara ekonomi kepemilikan saham (divestasi) oleh pemerintah Indonesia dalam PT Freeport Indonesia jika dikalkulasi hanya sekitar 30% saja (termasuk melalui IPO). Akibatnya tentu secara ekonomi keuntungan PT Freeport Indonesia sebagian besar diperoleh oleh 70% pemegang saham yang notabene bukan Indonesia. Terkait dengan alih teknologi yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia, secara nyata PT Freeport Indonesia baru menjanjikan akan menyelesaikan pembangunan pembangunan smelter di Gresik di penghujung 2017.

Solusi Alternatif Versi DPD RI

Dari kunjungan kerja yang dilakukan DPD RI, maka Komite III DPD RI sebagai lembaga tinggi negara yang mewadahi aspirasi masyarakat dan daerah menawarkan dan memberikan solusi alternatif atas temuan-temuan persoalan a quo, sebagai berikut.

Pertama, perlu adanya koordinasi instansi baik vertikal maupun horisontal untuk menyikapi dan menindaklanjuti berbagai pelanggaran multi dimensi (antara lain Ketenagakerjaan dan HAM) yang patut diduga dilakukan oleh kedua belah pihak PT Freeport Indonesia maupun karyawan.

Pemerintah Daerah Provinisi dan Kabupaten/Kota serta dinas terkait di tingkat derah tidak boleh menyerah dalam menyikapi dan menindaklanjuti persoalan a quo. Pernyataan yang disampaikan oleh Bupati Timika tentu patut disayangkan. Bagaimanapun urusan ketenagakerjaan merupakan urusan pemerintahan yang telah didelagasikan menjadi kewenangan Pemda.

Adapun di tingkat Pusat, kementerian terkait seperti Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian ESDM dan Komnas HAM sepatutnya memberi perhatian dan dukungan bagi penyelesaian persoalan a quo. Dalam hal diperlukan kiranya pemerintah Indonesia patut mempertimbangkan membawa persoalan ini menjadi wacana internasional (melalui ILO). Hal ini dilakukan dalam rangka menyeimbangkan antara kepentingan investasi di satu sisi dengan kepentingan penegakan HAM di sisi yang lain.

Kedua, perlu adanya kejelasan politik hukum dan politik ekonomi terhadap investasi PT Freeport Indonesia yang dilakukan melalui kontrak karya, sehingga dapat disikapi setiap pilihan kebijakan pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia.

Pada pokoknya Pemerintah Indonesia harus mampu menaikan posisi tawar dalam negosiasi kontrak karya, sehingga lambat laun Indonesia memiliki industri tambangnya sendiri.

Ketiga, melakukan antisipasi terhadap peluang sengketa hukum yang timbul baik nasional maupun internasional dari persoalan ini yang mungkin diajukan oleh PT Freeport Indonesia.

Catatan tambahan:

Kebijakan PT FI merumahkan sekitar 4000 karyawannya mulai dari level bawah sampai level atas. Tindakan merumahkan (Furlough) karyawan itu disertai dengan kebijakan memberikan hak hak pekerja / karyawan sesuai ketentuan yang berlaku dalam hal ini UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Dalam pasal 34 PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dijelaskan secara rinci ketentuan upah untuk pembayaran pesangon

Pasal 34
Komponen upah yang digunakan yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon terdiri atas:

Upah pokok
Tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma yang apabila catu harus dibayar pekerja /buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

Dalam hal pengusaha memberikan upah tanpa tunjangan, dasar penghitungan uang pesangon dihitung dari besarnya upah yang diterima pekerja/buruh.

Pasal 35
Upah untuk pembayaran pesangon sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) deberikan dengan ketentuan :
Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 (tiga puluh ) kali penghasilan sehari;

Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar penghitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata- rata perhari selama 12 (dua belas ) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota; atau

Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas ) bulan terakhir.

Jika ditengarai akibat negosiasi kontrak PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah berdampak kepailitan yang nyata dan dibuktikan dengan pendapatan perusahaan dan menurunnya jumlah aset perusahaan secara drastis. Maka pasal 37 dan 38 PP No.78 tahun 2015 tentang pengupahan bisa dijadikan acuan kebijakan.
Pasal 37
Pengusaha yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pernyataan pailit oleh pengadilan maka upah dan hak hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya.
Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didahulukan pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak-hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimaana dimaksud pada ayat 1 didahulukan pembayarannya setelah pembayaran para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

Pasal 38
Apabila pekerja/buruh jatuh pailit upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% ( dua puluh lima persen) dari upah dan segala pembayarn yang timbul dari hubungan kerja yang harus dibayarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *