Terkapar di Negeri Sendiri: Buruh Indonesia dalam Bayang-Bayang Outsourcing Tanpa Akhir

Terkapar di Negeri Sendiri: Buruh Indonesia dalam Bayang-Bayang Outsourcing Tanpa Akhir

Purwakarta, KPonline — Di sudut-sudut pabrik yang berderak oleh suara mesin, di lorong-lorong kantor yang dingin oleh pendingin ruangan, dan di belakang meja-meja operator yang terus-menerus bergerak dalam siklus tak berujung, para buruh Indonesia menjalani hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka bukanlah karyawan tetap. Mereka adalah pekerja kontrak. Outsourcing. Dipinjam tenaganya, tapi tak dimiliki sepenuhnya oleh sistem kerja yang mereka layani.

Outsourcing, praktik pemagangan dan perekrutan tenaga kerja melalui pihak ketiga, yang semula digadang-gadang sebagai solusi efisiensi, justru berubah menjadi kutukan bagi jutaan buruh di negeri ini. Sistem ini telah menjadi pisau bermata dua: menguntungkan pemilik modal, tapi melukai martabat buruh yang tak pernah benar-benar dianggap sebagai bagian dari keluarga besar perusahaan tempat mereka mengabdi.

Bacaan Lainnya

Menurut data dari berbagai lembaga ketenagakerjaan, lebih dari 60% tenaga kerja di sektor manufaktur, jasa kebersihan, keamanan, dan logistik merupakan pekerja outsourcing. Mereka bekerja keras, tak jarang melebihi jam kerja yang ditetapkan, namun tak memiliki jaminan kepastian kerja. Kontrak yang diperpanjang per tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun sekali, membuat hidup mereka seolah digantung di ujung tali rapuh.

#Mimpi yang Digadaikan

Siti Nurhaliza (bukan nama sebenarnya), seorang buruh perempuan di kawasan industri Bekasi, sudah tujuh tahun bekerja di perusahaan elektronik ternama. Namun hingga kini, ia masih berstatus sebagai tenaga outsourcing. “Saya sudah hafal seluruh sistem produksi. Bahkan saya sering diminta melatih karyawan baru. Tapi setiap kali minta status tetap, jawabannya selalu sama: belum ada kuota, belum ada anggaran,” ungkapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Ia tidak sendiri. Ribuan buruh lain mengalami nasib serupa. Mereka membangun mimpi, menabung dari gaji yang tak seberapa, berharap suatu saat bisa memiliki rumah atau menyekolahkan anak lebih tinggi. Namun mimpi itu kerap kali harus digadaikan demi bertahan hidup dari satu kontrak ke kontrak berikutnya.

#Ketimpangan dan Kekosongan Perlindungan

Masalah terbesar dari sistem outsourcing adalah lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja. Meski UU Ketenagakerjaan telah mencoba mengatur praktik ini, kenyataannya banyak celah yang dimanfaatkan oleh perusahaan. Pekerja outsourcing tidak mendapatkan hak yang sama dengan karyawan tetap: tidak ada tunjangan hari raya penuh, tidak ada jaminan kenaikan gaji berkala, bahkan hak cuti pun kerap diabaikan.

Selain itu, posisi mereka yang tidak berada langsung di bawah perusahaan pengguna membuat mereka rentan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak. “Ketika perusahaan klien tidak memperpanjang kontrak dengan penyedia outsourcing, maka otomatis buruh kehilangan pekerjaan. Tidak ada pesangon, tidak ada perlawanan. Seolah tenaga kami bisa dibuang kapan saja,” ujar Darto, seorang buruh logistik yang baru saja kehilangan pekerjaan karena perubahan vendor.

#Buruh Bukan Barang Sekali Pakai

Fenomena outsourcing yang tak terkendali ini bukan hanya soal ekonomi. Ini adalah soal kemanusiaan. Negara seharusnya hadir, bukan hanya sebagai pengatur, tapi juga sebagai pelindung. Namun kenyataannya, buruh outsourcing justru menjadi korban dari ketidaktegasan regulasi dan lemahnya pengawasan.

Serikat buruh dan aktivis telah lama menyerukan penghapusan sistem outsourcing untuk jenis pekerjaan inti (core business). Mereka menuntut status kerja tetap bagi para pekerja yang telah mengabdi bertahun-tahun, serta sistem pengupahan dan perlindungan yang setara.

“Kami bukan robot. Kami juga punya keluarga, punya mimpi, dan punya hak untuk hidup layak,” tegas Yuni, buruh pabrik tekstil di pinggiran kabupaten Purwakarta. Ia telah menandatangani beberapa kali kontrak kerja, namun sampai kini nasibnya belum berubah, menjadi karyawan tetap.

#Harapan di Tengah Ketidakpastian

Meski jalan masih panjang, harapan tetap menyala. Dorongan dari masyarakat sipil, tekanan dari lembaga internasional, serta suara-suara lantang dari akar rumput perlahan mulai memaksa perubahan. Pemerintah harus berani meninjau ulang kebijakan outsourcing, menegakkan pengawasan, serta memastikan bahwa tenaga kerja Indonesia tidak selamanya menjadi korban di tanahnya sendiri.

Sebab sebuah bangsa yang besar bukan hanya diukur dari gedung-gedung tinggi dan pertumbuhan ekonomi, melainkan dari bagaimana ia memperlakukan buruhnya sebagai penggerak roda pembangunan yang sejatinya adalah jantung kehidupan negeri.

Pos terkait