Ditengah geliat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang terus digaungkan pemerintah, terdapat potret kelam yang luput dari sorotan utama, yaitu nasib jutaan buruh Indonesia yang masih berkutat dalam jerat kerja keras, upah rendah, dan ketidakpastian masa depan.
Sebut saja Dwi (36), seorang buruh pabrik tekstil di kawasan Purwakarta, memulai harinya sejak pukul enam pagi. Ia harus menempuh perjalanan sejauh 15 kilometer dari rumah kontrakannya yang sempit menuju pabrik.
Sesampainya di pabrik, ia langsung disambut deru mesin dan target produksi harian yang terus meningkat. “Biasanya kami kerja sampai jam lima sore. Tapi kalau sedang banyak pesanan, bisa lembur sampai malam. Lembur pun kadang tidak dibayar,” keluhnya.
Upah yang diterima Dwi per bulan adalah Rp4,7 juta dengan massa kerja hampir 12 tahun dan hanya sedikit di atas Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Purwakarta. Namun, jumlah ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi membantu orang tuanya di kampung. Dengan biaya makan, transportasi, sewa tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari, uang itu habis bahkan sebelum akhir bulan. “Kami kerja mati-matian, tapi tetap saja susah hidup,” katanya pelan.
#Beban Kerja Berat, Upah Tak Layak
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Purwakarta. Buruh di berbagai kota industri seperti Bekasi, Karawang, Surabaya, hingga Makassar mengalami kondisi serupa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, rata-rata upah buruh formal di Indonesia hanya Rp3-4 juta per bulan, dengan ketimpangan mencolok antara sektor dan wilayah. Sementara itu, angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di kota-kota besar sudah menembus angka Rp5-6 juta.
Sehingga bila menyikapi hal tersebut, sistem kerja di Indonesia saat ini bisa atau dapat dikatakan cenderung eksploitatif, terutama di sektor-sektor padat karya. Sementara itu, buruh di sektor manufaktur, konstruksi, dan logistik bekerja dengan intensitas tinggi tanpa perlindungan kerja yang memadai.
#Kontrak Tak Pasti, Masa Depan Suram
Masalah lain yang mengakar sampai saat ini adalah sistem kerja kontrak dan outsourcing yang masih masif diterapkan. Banyak buruh yang telah bekerja bertahun-tahun tetap tidak diangkat sebagai karyawan tetap. Mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan, pesangon, atau tunjangan lainnya.
Rini (35), seorang pekerja di perusahaan logistik di Bekasi, mengaku sudah lima tahun bekerja sebagai staf pergudangan namun tetap berstatus kontrak. “Setiap enam bulan harus tanda tangan kontrak baru. Kalau protes sedikit saja, bisa tidak diperpanjang. Jadi kami diam saja,” katanya.
Situasi ini menyebabkan banyak buruh hidup dalam tekanan mental yang tinggi. Tak hanya kelelahan fisik, mereka juga dibayangi ketidakpastian soal pekerjaan. Hal ini berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup secara menyeluruh.
#Janji yang Tak Sejalan dengan Realita
Pemerintah telah berulang kali menyatakan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, terutama melalui undang-undang cipta kerja. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak pasal dalam undang-undang tersebut justru dinilai merugikan pekerja.
Dalam kenyataannya, UU Cipta Kerja lebih berpihak pada kepentingan investor. Hak-hak buruh dikurangi, jam kerja fleksibel dipaksakan, dan sistem pesangon diperlemah. Bahkan selama dua tahun terakhir, pengaduan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan pelanggaran upah meningkat drastis.
Serikat buruh di seluruh Indonesia pun terus menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kelas pekerja. Dan pasca kemenangan tuntutan terhadap UU Cipta Kerja melalui Judicial Review, Mereka menuntut UU Ketenagakerjaan yang pro buruh, penegakan hukum ketenagakerjaan, serta evaluasi sistem pengupahan nasional yang dinilai tidak realistis dengan kondisi hidup saat ini.
#Buruh Sebagai Tulang Punggung yang Terabaikan
Di balik setiap gedung pencakar langit, jalan tol, dan barang konsumsi yang dinikmati masyarakat luas, terdapat tenaga dan keringat buruh yang jarang mendapat apresiasi setimpal. Mereka adalah tulang punggung ekonomi yang selama ini menopang pertumbuhan nasional, namun sering kali hanya dipandang sebagai angka statistik.
Buruh Indonesia bukan hanya alat produksi. Akan tetapi manusia yang punya keluarga, harapan, dan masa depan, dimana ingin hidup layak, bukan sekadar bertahan hidup.
Potret buruh Indonesia ini menjadi pengingat bahwa kemajuan ekonomi sejati harus diukur dari seberapa besar kesejahteraan yang bisa dirasakan oleh mereka yang bekerja paling keras untuk mewujudkannya.