Sisa-sisa Keberanian Yang Berserakan

KPonline – Terjadi perdebatan yang cukup panjang didalam grup-grup diskusi, bahkan diskusi yang semakin menghangat terbawa hingga kedalam grup-grup perpesanan berbasis koneksi jaringan internet, seperti grup whatsapp. Poin penting yang dapat ditangkap, seputar tentang eskalasi dan intensitas aksi-aksi yang dilakukan oleh kawan-kawan buruh. Dan tanpa dinyana dan tak disangka-sangka, ternyata hulu dari perbincangan diskusi tersebut berpangkal dari sebuah ungkapan tentang “sisa-sisa keberanian” kawan-kawan buruh dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.

Anggaplah jika benar “sisa-sisa keberanian” tersebut masih ada, maka tidak ada salahnya bukan, jika kita sebagai pemegang tongkat estafet pergerakan dan perjuangan kaum buruh saat ini, sudah harus memulai bergerak untuk berani mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang tersisa, bahkan mungkin berserakan dimana-mana. Bahkan jika memungkinkan, memungut satu persatu, memupuk kembali sisa-sisa keberanian tersebut, hingga tumbuh dan kembali tumbuh dan berkembang. Menjadikan sisa-sisa keberanian tersebut lebat kembali memang tak mudah, tapi setidaknya, kita harus mencoba.

Bacaan Lainnya

Termasuk saat ini, kita mesti berani mengkritisi gejala-gejal, serta segala hal yang menjadi faktor-faktor kemunduran pergerakan organisasi serikat buruh. Toh, kalau bukan kita siapa lagi yang akan melakukannya, karena sebagai penghuni rumah besar serikat buruh ini, sudah menjadi tanggung jawab kita bersama dalam membangun kembali kekuatan dan mengumpulkan kembali sisa-sisa keberanian itu tadi. Tidak mungkin, dan akan sangat naif sekali jika kita sebagai serikat buruh yang terlahir dari gen perlawanan, malah tidak melakukan perlawanan sama sekali. Jika seperti itu, gen perlawanannya dimana?

Kita tidak perlu malu-malu kucing lagi untuk mengakui, bahwasanya pergerakan kaum buruh di Indonesia mengalami kemunduran. Pasca lahirnya PP 78/2015 hingga aksi besar-besaran pada 30 Oktober 2015, yang mengakibatkan ratusan buruh terluka, baik berat maupun ringan, dan 26 aktivis buruh menjadi pesakitan diruang pengadilan, eskalasi dan intensitas pergerakan kaum buruh menurun drastis. Kita harus akui hal tersebut, bukan sebagai pembenaran atas ketakutan kita. Akan tetapi, hal tersebut harus kita jadikan motivasi sebagai penguat dan penyatu dalam mengumpulkan keberanian, yang setidaknya masih tersisa dalam diri kita.

Pasca reformasi, keberanian itu seakan-akan muncul dengan sendirinya, dikarenakan faktor situasi dan kondisi negeri kita yang morat-marit. Pergerakan kaum buruh, masih diliputi rasa takut dan kekhawatiran tindakan intimidasi dan kekerasan pihak aparat, gerakan kaum buruh stagnan dan seperti berjalan ditempat. Hanya berkutat dan berputar-putar dilingkungan pabrik, dan kalaupun bergerak hanya sebatas ke Kantor Disnaker dan perundingan bipartit yang basa-basi belaka. Dan saat ini, situasi dan kondisinya hampir tidak jauh berbeda, hanya beda manusianya, waktu dan keberaniannya. Apakah karena sisa-sisa keberanian itu sudah tidak ada?

Mengumpulkan, bahkan jika perlu, kita harus memungut satu persatu sisa-sisa keberanian tersebut, yang saat ini berserakan dimana-mana. Tidak hanya yang ada di jantung Ibukota, di kota-kota satelit yang berada dipinggirannya, atau dikantong-kantong pergerakan kaum buruh seperti di kawasan-kawasan industri. Akan tetapi, kita juga harus memberanikan diri, untuk mengajak kawan-kawan buruh yang “bersembunyi” di PUK-PUK, mereka-mereka yang menyepi dan menyendiri dari hingar bingar aksi-aksi kaum buruh, dan juga aktivis-aktivis buruh yang merasa “down” dengan rasa khawatir akan masa depan dirinya dan keluarga.

Mengajak untuk kembali ke garis perjuangan kaum buruh memanglah tidak mudah. Merangkul rasa khawatir dan ketakutan akan dinginnya tembok penjara bagi kaum buruh lebih sulit dari yang kita bayangkan. Tetapi, akan lebih sulit lagi, jika tidak kita mulai dari sekarang, dan dimulai dari hari ini. (RDW)

Pos terkait