Paradoks kenaikan Cukai Rokok, iuran BPJS Kesehatan dan Ekonomi buruh

Paradoks kenaikan Cukai Rokok, iuran BPJS Kesehatan dan Ekonomi buruh

Mojokerto, KPonline – (19/12/2019) Sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Keuangan, mulai 1 Januari tahun 2020, pemerintah berencana menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) double digit sebesar 23 persen. Kenaikan itu tentu mempengaruhi Harga Jual Eceran (HJE) rokok yang secara rerata akan naik sebesar 35 persen (sekitar 5 6 ribuan per bungkus).

Selain untuk menggenjot target penerimaan CHT tahun depan sebesar Rp180,5 triliun, Pemerintah juga beralasan kenaikan itu untuk mengurangi konsumsi rokok yang semakin tahun semakin tinggi. Pemerintah mengklaim bahwa kenaikan itu tetap memperhatikan industri rokok dan petani tembakau.

Demo petani tembakau

Bacaan Lainnya

Kenaikan CHT dalam 5 tahun terakhir

Dikutip dari CNBC Indonesia (16/9/2019), sesuai data MUC Tax Research. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pemerintahan Jokowi telah menaikkan cukai rokok hingga 50%. Pada tahun 2015 tarif cukai rokok naik 8,72%. Kemudian tahun 2016, 2017 dan 2018 masing-masing naik sebesar 11,19%, 10,54% dan 10,04% sehingga ditotal menjadi 40,49%. Ini belum termasuk tahun depan yang akan dinaikkan 23%.

Menurut Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto, pemerintah menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam kebijakan cukai. Sementara kerugian terbesar ditanggung oleh konsumen dan pekerja buruh di industri rokok.

Serikat Pekerja menolak

Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP-RTMM) Sudarto menolak kenaikan cukai rokok tersebut.

“Dengan kenaikan cukai dan HJE yang tinggi akan berdampak pada penurunan penghasilan anggota kami dan dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Jika aspirasi kami tidak diperhatikan maka kami akan melakukan unjuk rasa nasional di seluruh indonesia.” Katanya di Jakarta, Senin (23/09/2019).

Sudarto dalam audensi dengan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI menuntut lima hal berikut:

1. Menolak kenaikan tarif cukai industri hasil tembakau sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% karena dampaknya dapat merugikan pekerja (penurunan penghasilan dan bahkan PHK massal).
2. Kenaikan cukai industri hasil tembakau wajib memperhatikan masukan dari serikat pekerja dan pihak-pihak terkait lainnya.
3.Industri rokok kretek sebagai industri khas Indonesia dan padat karya hendaknya mendapat perhatian lebih dari pemerintah terutama terkait aspek kelangsungan dan kesejahteraan pekerja.
4. Kenaikan tarif cukai dan HJE yang tinggi akan berpotensi menumbuhkan rokok illegal, yang sangat berdampak kepada semua pihak terkait.
5. Penggunaan dana bagi hasil cukai-hasil tembakau (DBHC-HT) memasukan aspek kesejahteraan dan perlindungan pekerja rokok dalam pemanfaatannya.


Dilansir dari Radar Surabaya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Timur Himawan Estu Bagiyo mengatakan, di tahun 2020 nanti setidaknya ada 15 ribu lebih buruh yang terancam PHK, dari 10 perusahaan di Propinsi Jawa Timur dan sebagian besar dari mereka yang ter PHK adalah buruh rokok.

“Karena rencana kenaikan cukai rokok, ribuan buruh rokok terancam di PHK massal. Saat ini Pemprop Jatim sedang berusaha melakukan mediasi agar PHK tidak terjadi.” Ungkap Himawan (29/11/2019).

Kekuatan industri rokok

Industri pengolahan tembakau ini telah membentuk rangkaian lapisan pekerja, mulai dari perkebunan dan pengolahan tembakau sampai industri rokok. Sebagian besar pekerja terserap dalam industri kecil yang masih menggunakan tangan atau sigaret kretek tangan (SKT). Lapisan ini masih ditopang dengan pekerja dagang untuk memasarkan tembakau dan rokok, baik untuk pasar domestik (domestic demand) maupun pasar ekspor.

Perkebunan tembakau terbanyak memang paling banyak tersebar di Jatim, dengan luas lahan mencapai 102.000 hektare dan tersebar di 22 kabupaten. Pada 2011, produksi tembakau Jatim per tahun mencapai 81 ribu ton atau 56,9% dari produksi tembakau nasional. Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) memperkirakan, dari hulu hingga hilir, berkisar antara 30-35 juta orang yang bekerja dalam rangkaian produksi tembakau, cengkeh, industri rokok, serta dalam perdagangan tembakau dan rokok, termasuk efek ganda (multiplier effect) yang bersentuhan dengan industri rokok.

Bisa dipastikan bahwa banyak orang terlibat dalam penanaman dan pengolahan tembakau sebelum diserap oleh industri rokok, terutama kretek, baik langsung maupun tidak langsung.

Pada Januari 2010, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengungkapkan, di Indonesia sedikitnya terdapat 3.800 pabrik rokok, termasuk kelas rumahan. Sehingga jumlahnya paling banyak di seluruh dunia. Pabrik rokok ini terkonsentrasi di Jateng dan Jatim, dengan jumlah sekitar 3.000 pabrik. Jumlahnya ini diperkirakan terus menurun setiap tahunnya, tapi konsumsi dan peredaran rokok terus meningkat tiap tahunnya.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memperkirakan sekitar 6,1 juta orang pekerja dalam industri rokok. Namun sebanyak 80% justru pekerja outsourcing (alihdaya) yang mayoritas bertugas sebagai pekerja linting (menggulung rokok), yang merupakan pekerjaan utama (core business). Perusahaan rokok besar yang menggunakan sistem mitra produksi sigaret (MPS), banyak mempekerjakan buruh borongan bidang melinting rokok.

Polemik Cukai dan defisit BPJS Kesehatan

Soal rencana kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen pada 2020 nanti, pemerintah didesak untuk buka-bukaan. Sebab, kenaikan cukai itu mendorong Harga Jual Eceran (HJE) rokok sebesar 35 persen. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam, rencana kenaikan cukai tanpa kejelasan membuat masyarakat dan industri hasil tembakau ketar-ketir. Selama ini, pemerintah selalu berdalih kenaikan cukai untuk menekan prevalensi perokok, dan membasmi rokok ilegal.

Namun, kenaikan cukai yang cukup tinggi justru menimbulkan motif bahwa pemerintah sedang dikejar setoran penerimaan negara. Indikasi ini terlihat dari angka kenaikan cukai rokok yang ternyata lebih besar dibanding rata-rata kenaikan cukai rokok dalam 10 tahun terakhir yakni 13 persen.

Apalagi kenaikan cukai belum tentu dirasakan manfaatnya oleh pekerja dalam industri rokok. Banyak dari mereka hanya pekerja musiman dan tidak mendapatkan kesejahteraan yang memadai.

Dengan penerimaan dari kenaikan CHT tersebut rencananya menyumbang 80,9 persen dari target penerimaan bea dan cukai di dalam APBN 2020 yakni Rp223,1 triliun. Adapun penerimaan CHT hingga bulan Agustus 2019 tercatat sebesar Rp88,97 triliun atau tumbuh sebesar 18,6% dibandingkan capaian tahun 2018.

Selain masyarakat dan industri hasil tembakau, pemerintah daerah pun juga ketar-ketir mengenai CHT ini. Pasalnya dalam Peraturan Presiden yang baru tentang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), dana tersebut dipotong 50%. Sebagian dana tetap didistribusikan ke Pemerintah Kota/Kabupaten melalui DBHCHT dan 75% dari 50% itu digunakan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan.

Yang jelas hal ini membawa dilema bagi Pemda. Karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang paling besar adalah dari rokok, kalau sumber daerah ini dipotong tentu akan kalang kabut dan berakibat tidak sehatnya APBD. Saat ini banyak Pemda kelimpungan mencari sumber pendapatan yang lain.

Kenaikan cukai rokok tiap tahun itu biasa terjadi, apalagi menggunakan pajak dosa rokok berupa cukai untuk dana pembiayaan kesehatan itu juga boleh-boleh saja. Masalahnya kenaikannya itu double digit dan diprioritaskan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, ini yang seharusnya perlu diluruskan. Maka timbullah beberapa pertanyaan menggelitik, kenaikan itu menguntungkan siapa sih? Apakah tidak ada cara lain mengatasi defisit selain dari cukai rokok?

Rokok naik tinggi, PHK massal terjadi, pekerja ter PHK menjadi peserta PBI. Pemerintah tekor lagi, sedangkan defisit tidak ada yang menjamin akan teratasi. APBN naik tinggi, tapi hanya untuk investasi. Rakyat butuh Kesehatan bersubsidi lalu cukai dijadikan alibi.

Banyak cara sebenarnya untuk mengatasi defisit pembiayaan BPJS Kesehatan, namun tidak jelas kenapa regulator menjadikan Cukai sebagai prioritas beban pembayaran. Tidak bisa dibayangkan seandainya industri rokok akan ambruk. Ribuan perusahaan, hektaran lahan, jutaan orang dan jutaan pasien akan menjadi korban. Sungguh suatu hal yang konyol, rokok dipandang mengganggu kesehatan, tapi dengan rokok pula biaya kesehatan bisa dibayarkan. Apakah anda merokok? Rokok merek lokal apa brand asing? Bagi perokok semoga anda tetap diberikan kesehatan dan kesejahteraan.

Ipang Sugiasmoro

Pos terkait