Purwakarta, KPonline-Seperti diketahui bersama, Jalan raya selalu menjadi panggung perlawanan serikat pekerja dalam melawan kebijakan yang tidak berpihak maupun dalam menyuarakan isu-isu ketenagakerjaan. Hal itu dilakukan karena sejumlah alasan strategis dan simbolis yang saling berkaitan, berpijak pada dinamika sosial, politik, dan praktis:
1. Visibilitas Publik yang Tinggi: Jalan raya, terutama di pusat kota Jakarta seperti Jalan MH Thamrin atau kawasan Monas, adalah ruang publik yang ramai dilalui. Aksi di jalan raya memastikan pesan serikat pekerja dilihat oleh masyarakat luas, media, dan pengambil kebijakan. Data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta menunjukkan bahwa jalur-jalur utama seperti Thamrin-Sudirman dilewati jutaan kendaraan setiap hari, menjadikannya lokasi ideal untuk menarik perhatian.
2. Simbol Kekuatan Kolektif: Jalan raya, sebagai arteri kota, mencerminkan denyut kehidupan masyarakat. Ketika ribuan pekerja memadati jalan, mereka menunjukkan solidaritas dan jumlah yang signifikan, memperkuat tekanan kepada pemerintah atau pengusaha. Menurut laporan Kementerian Ketenagakerjaan, Indonesia memiliki sekitar 1,6 juta anggota serikat pekerja pada 2014, dan angka ini diperkirakan tumbuh hingga 2025, menunjukkan potensi massa yang besar.
3. Akses ke Pusat Kekuasaan: Jalan raya di ibu kota sering kali berada dekat dengan gedung-gedung pemerintahan, seperti Istana Negara atau DPR. Aksi di lokasi ini memungkinkan serikat pekerja menyampaikan tuntutan langsung ke pengambil kebijakan. Misalnya, aksi KSPI, KSPSI AGN dan Jumhur serta KEBAIKAN pada 1 Mei 2025 (May Day) di Monumen Nasional (Monas) Jakarta mampu menekan pemerintah untuk membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional.
4. Efek Gangguan yang Strategis: Demonstrasi di jalan raya sering menyebabkan kemacetan, yang secara tidak langsung memaksa perhatian publik dan media. Meski Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat jalur khusus motor tetap lancar selama aksi, gangguan di jalur utama menciptakan urgensi bagi pemerintah untuk merespons. Ini adalah taktik untuk “mengguncang” sistem tanpa kekerasan.
5. Tradisi Historis dan Budaya Perlawanan: Jalan raya telah lama menjadi ruang perlawanan di Indonesia, dari demonstrasi mahasiswa 1998 hingga aksi buruh modern. Tradisi ini mengakar kuat, menjadikan jalan sebagai simbol perjuangan rakyat.
6. Fleksibilitas Ruang Publik: Berbeda dengan ruang privat seperti kantor atau aula, jalan raya tidak memerlukan izin khusus untuk aksi damai, meskipun pengawalan polisi sering diperlukan. Ini memberi serikat pekerja kebebasan untuk mengorganisasi massa tanpa hambatan logistik besar.
Secara keseluruhan, jalan raya adalah panggung yang hidup dan merupakan tempat dimana suara pekerja, yang sering terpinggirkan, dapat menggema dengan kuat. Kombinasi visibilitas, simbolisme, dan dampak praktis menjadikannya pilihan utama serikat pekerja untuk menyuarakan isu ketenagakerjaan.