Rizal Ramli: Indonesia Diambang Krisis

Ekonom senior Rizal Ramli saat mebjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Gerakan Kritis 100 Tokoh Nasional dan Mantan Aktivis Mahasiswa bertema "Ancaman Krisis Ekonomi" di Jakarta, Rabu (1/8/2018)./Foto: Kahar

Jakarta, KPonline – Saat ini Indonesia berada di ambang krisis ekonomi. Kesimpulan itu disampaikan ekonom senior Rizal Ramli saat menjadi pembicara dalam diskusi “Ancaman Krisis Ekonomi” di restoran Pulau Dua Senayan, Jakarta, Rabu (1/8/2018).

“Kita sebetulnya menjelang krisis. Istilah sederhananya setengah lampu merah. Dua tahun lalu kami sudah katakan Indonesia statusnya lampu kuning. Cara pemerintah mengelola makro ekonomi sangat konservatif. Buktinya penarikan pajak terbukti gagal mendongkrak perekonomian Indonesia,” katanya.

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut dia menegaskan, “Kami katakan berulang-ulang badan ekonomi kita lagi sakit. Anti bodi kita sedang lemah. Jadi kena virus sedikit saja seperti US Fed, krisis negara lain kita langsung sakit dan babak belur. Tapi kalau badan kita sehat, anti body kita kuat, apapun terjadi di seluruh Indonesia paling kita kena flu doang.”

Menurut Rizal, ada beberapa indikasi ekonomi sedang krisis. Salah satunya adalah neraca perdagangan mengalami negatif sebesar 1.6 milyar dollar. Neraca pembayaran juga mengalami negatif sehingga asing-asing pada kabur dari pasar modal Indonesia.

Selain itu, dia menuturkan, keseimbangan primer (primary balance) minus. Primary balance yakni realisasi pendapatan negara dikurangi belanja di luar utang.

“Primary balance APBN negatif US$ 6,2 miliar untuk tahun 2018 artinya apa, kita harus minjam untuk hanya membayar bunga, istilah saya, kita gali lobang untuk tutup jurang,” tuturnya.

Utang luar negeri Indonesia pada Mei 2018 sebesar 358,635 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Utang ini terdiri dari utang pemerintah, bank sentral, dan utang swasta. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga sedang melemah dan transaksi berjalan mengalami defisit. Hal ini bisa memberi dampak pada membengkaknya nilai utang luar negeri.

“Itulah yang menjelaskan kenapa perusahaan asing tidak mau beli obligasi coorporate Indonesia, itulah yang menjelaskan BI (Bank Indonesia) menghabiskan 12 trilun agar rupiah dibawah 15 ribu, itulah yang menjelaskan kenapa indikator-indikator lainnya negatif,” ujar Rizal.

Kendati anggaran negara stabil, lanjutnya, hal itu dikarenakan pengurangan belanja dikurangi. Sedangkan beban negara dipindahkan ke PLN, Pertamina dan rakyat dalam bentuk harga pangan impor yang mahal.

“Bank Indonesia menghabiskan Rp 12 triliun agar Indonesia tetap di bawah 15 ribu. Jadi, kalau ada menteri ngawur mengatakan dollar turun 100 rupiah, negara surplus Rp 1,7 triliun, kasian rakyat, dibohongi terus. Kalau mau begitu, anjlokkan saja rupiah ke angka Rp 100 ribu,” tegas mantan Menko Maritim dan Sumber Daya itu.

“Menteri Keuangan paling ngawur, yaitu menteri paling baik sama kreditor. Syukur, pekan lalu Pak Jokowi mengatakan badan ekonomi Indonesia sedang sakit. Sportif. Nah, itu sudah langkah awal untuk memperbaiki keadaan,” imbuh pria yang akrab disapa RR ini.

Oleh karena itu, pemerintah tidak mungkin lagi meyakinkan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan modal kata-kata. Pasalnya, para pemilik modal mendasarkan penilaiannya pada analisis data. Bila dianggap terlalu berisiko, niscaya mereka tak akan berani berspekulasi untuk menginvestasikan modalnya di negeri ini.

Bisa Berdampak Lebih Buruk

Menurutnya, krisis ekonomi yang mengacam saat ini memiliki dampak yang lebih buruk jika dibanding dengan gejolak ekonomi pada 1998. Alasannya saat ini Indonesia tidak memiliki bantalan peredam gejolak ekonomi.

“Frekuensi krisis ekonomi tahun 1998 meskipun tinggi, namun kita ada tabungan ekspor minyak bumi 1,3 juta barel per hari. Begitu rupiah anjlok ke 15 ribu, petani di luar Jawa diuntungkan,” terang Rizal.

Kondisi itu berbeda dengan saat ini. Sebab Indonesia tidak punya bantalan (tabungan) lagi. Jangankan ekspor minyak bumi, setiap hari Indonesia impor 1,5 juta barel.

Lebih jauh, Rizal membandingkan ekskalasi konflik agama, etnik dan fragmentasi sosial hari ini sangat besar jika dibandingkan 1998.

Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah terutama Menteri Keuangan tidak menutupi kondisi yang terjadi saat ini. Dia menilai, selama ini Menkeu hanya mengatakan hal baik untuk sekedar menyenangkan hati atasan.

“Selama ini menteri ekonomi selalu bilangnya jangan khawatir, tidak apa-apa. Itu cuma ungkapan Asal Bapak Senang (ABS) aja. Memang kelihatan anggaran sementara oke karena pengeluaran dikurangi. Beban itu dipindahkan ke yang lain, termasuk PLN, Pertamina, dan rakyat. Kasihan rakyat dibohongi,” tegasnya.

Pos terkait