Jakarta, KPonline – Disebutkan dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Adapun pelaksanaan dari ketentuan ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Ketentuan tentang cuti bagi perempuan yang haid dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 memang tidak setegas sebagaimana yang pernah diatur dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 yang menyebutkan, pekerja perempuan berhak mendapat cuti haid pada hari pertama dan kedua haid, dengan tetap memberikan upah.
Pernah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951, pelanggaran terhadap ketentuan normatif – seperti hak cuti, termasuk cuti haid – dapat diberi sanksi pidana. Artinya, jika ada pekerja yang meminta cuti haid, namun perusahaan tidak memberikan, perusahaan itu dapat dikenakan sanksi pidana.
Sebaiknya kita memberikan perhatian yang serius mengenai cuti haid. Dari segi jenis pekerjaan, cuti haid sangat dibutuhkan oleh pekerja perempuan di pabrik. Aktifitas fisik yang intens, jam kerja yang panjang, dan suasana kerja yang tidak kondusif membuat cuti haid menjadi sangat penting bagi mereka. Apalagi mereka harus berdiri terus menerus minimal selama empat jam sampai waktu istirahat.
“Karena kondisi negara dunia ketiga yang relatif patriarkhi dan miskin, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menolong pekerja perempuan, kecuali memberikan sedikit waktu untuk memikirkan tubuhnya,” demikian pernah dikatakan oleh Wiyanti, dari LBH APIK.
Bagi pekerja yang upahnya rendah dengan kondisi gizi yang buruk dan jam istirahat yang kurang, cuti haid menjadi sangat penting.
Apalagi, dengan kondisi konstruksi gender yang menepatkan perempuan–meskipun bekerja, tetap pekerja domestik–sehingga jam kerjanya lebih panjang dari pria. Dengan upah yang rendah, pekerja perempuan tidak dapat menggaji pembantu, sehingga lebih mengalami kelelahan karena harus melakukan semua pekerjaan sendirian.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak mewajibkan adanya surat dokter bagi cuti haid, meskipun seringkali hal ini diberlakukan dengan alasan profesionalisme. Hak cuti haid sebagai hak normatif mestinya tetap diberikan oleh perusahaan, terlepas dari apakah hak itu akan digunakan atau tidak.
Jangan sampai atas nama profesionalisme dan produktifitas, hak manusiawi karyawan terabaikan.