Bogor, KPonline -Terlentang diatas hamparan rumput yang hijau, tebal laksana permadani alam. Kutatap awan yang arak berarak menghiasi angkasa luas. Nampak sekilas, seperti Tyranosaurus-Rex, bahkan tak jarang, seperti bidadari yang tersenyum. Bagaimana suasana hati kita saat itu, maka akan terlihat seperti itu.
Aku tersenyum lebar, sungging senyum yang nampak lugu dan apa adanya. Aku teringat masa kecil, disaat aku sering menyaksikan arak-arakan awan putih di angkasa luas, menatap bersama teman-teman. Menerka-nerka bentuk awan yang kami tunjuk. Sambil berdebat kusir, tentang mirip atau tidaknya bentuk awan yang kami terka. Atau pernah juga, kami berjalan menyusuri pematang sawah, hanya untuk sekedar mengikuti awan yang tertiup angin.
Bahkan, asap pesawat jet yang membelah langit biru, seringkali menjadi pusat perhatian kami. Jika kami melihat hal tersebut, kami akan berteriak, “Kapal, minta duit!” . Entah bagaimana asal muasal “meminta duit ke pesawat”. Satu hal yang pasti, ada senyum bahagia bercampur sedih malam ini. Aku kembali terlarut pada masa kecilku yang begitu menyenangkan.
“Vina main yuk” kalimat itu masih terngiang-ngiang hingga sekarang. Seperti ada kenangan yang enggan untuk dilepaskan dari ingatan. Bukan hanya untuk aku, bahkan semua anak-anak di sekitar rumahku meneriakan hal yang sama. Memanggil nama, panggilan akrab atau aku menyebutnya, panggilan kesayangan.
Jadwal kami bermain sekitar pukul 4 sore hingga menjelang adzan Maghrib berkumandang. Pernah suatu waktu, kami setengah berlari menuju rumah Rafly, salah seorang temanku yang mempunyai bola berbahan kulit, dimana kulit bolanya sudah mengelupas. Buluk kami menyebutnya. Tapi itulah bola favorit kami semua. Rafly bukan tidak mempunyai bola yang bagus, akan tetapi kami sudah sangat nyaman memakai bola “butut” itu. Dan lapangan bola kami adalah jalanan umum tempat orang berlalu lalang. Dengan bermodalkan sendal jepit sebagai titik gawang, kami bermain sepak bola dengan apa adanya. Aku, Utok, Rafly, Sauqy, Yapi, Uti (kakakku), Egi dan Ade akan melakukan “hompimpah” untuk menentukan tim.
Permainan kami cukup seru waktu itu, ketika bola keluar lapangan tanpa garis, dan masuk ke saluran air yang cukup kotor dan lumayan bau menyengat. Akan tetapi, tanpa ragu, kami mengambil bola tersebut tanpa rasa jijik sedikit pun. Dan itulah momen yang “menyenangka ” karena saat itu adalah saatnya “membalas dendam”. Tendang dan pusatkan pada lawan. Hasilnya, tentu saja lawan akan terkena kotoran yang menempel di bola paling banyak. Sering muka kami sendiri yang terciprat air kotor tersebut.
Teriakan gol dan kemenangan, seolah-olah kami baru saja mendapatkan hadiah yang special di sore itu. Padahal, hanya berakhir saling ledek tanpa harus menghina. Apalagi dendam yang tak berkesudahan, hingga baku hantam seperti pertandingan di liga-liga Indonesia zaman sekarang.
Disaat shalawat terdengar bersahut-sahutan dari berbagai mesjid di kampung kami, itulah tanda kami harus membubarkan diri. Kembali segera kerumah masing-masing. Demi menghindari teriakan yang meledak-ledak dari ibu-ibu kami. Pulang dengan badan penuh kotoran, termasuk ciri khas kebanggaan kami.
Bangga bahwa kami menerjang bola tanpa takut.
Aku tersenyum dalam hati. Tersadar dari lamunan panjang. Dan arak-arakan awan berbentuk Tyranosaurus-Rex pun lenyap tertiup angin lamunan, yang membawa alam bawah sadarku, kembali ke masa kecilku.
Apakah anak-anak zaman sekarang juga merasakan kebahagian yang kami rasakan dulu? Dengan gadget, internet, dan segudang dunia digital dan fantasi, apakah anak-anak zaman sekarang merasa bahagia? (Vina, foto : boombastis.com)