Kita Memimpikan Perubahan Dalam Gerakan Serikat Pekerja: Cerita Mukiswara (alm) Terkait Berdirinya FSPMI)

Jakarta, KPonline – Satu lagi tokoh pendiri Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) meninggal dunia. Dia adalah Mukiswara, Ketua Umum Serikat Pekerja Jasa Maritim dan Perkapalan (SPPJM FSPMI) pada hari Sabtu, 1 Desember 2018 lalu.

Beberapa bulan sebelum dia meninggal, saya membuat janji bertemu dengannya dalam rangka penulisan buku sejarah FSPMI. Dia adalah salah satu sosok yang direkomendasikan kepada saya untuk diwawancarai terkait penulisan buku tersebu.

Bacaan Lainnya

“Mengapa FSPMI didirikan?” Di awal wawancara, dia menanyakan hal ini kepada saya. Sebuah pertanyaan, yang kemudian dijawabnya sendiri.

“FSPMI didirikan karena kita menginginkan adanya perubahan dalam gerakan serikat pekerja,” jawabnya.

Berikut adalah penuturuan bung Mukiswara:

Saat itu, serikat pekerja dikooptasi oleh penguasa. Partai politik menempatkan serikat pekerja sebagai underbow dan sekedar pendulang suara. Aparat keamanan seperti polisi dan tentara, bahkan birokrat yang masih aktif, banyak yang menjadi pengurus serikat pekerja. dalam situasi seperti itu, serikat pekerja tidak lebih dari sekedar sapi perahan.

Di SPSI, sebenarnya saya memiliki posisi yang relatif baik. Jabatan saya adalah sebagai Sekretaris DPD SP LEM-SPSI DKI Jakarta. Selain itu, bersama dengan bung Makmur Komarudin, saya mewakili SPSI di Panitia Penyelesaian Perselisihan Peburuhan Daerah (P4D) Provinsi DKI Jakarta. P4D merupakan mekanisme penyelesaian perburuhan sebelum era Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Namun demikian, saya tidak peduli dengan semua itu. Saya hanya ingin melihat gerakan serikat pekerja yang lebih baik.

Saya masih ingat, tahun 1997 – 1998 ketika krisis ekonomi terjadi, serikat buruh memprotes kenaikan upah minimum yang tidak sesuai dengan keinginan para buruh. Tetapi para pimpinan SPSI tidak bergeming. Mereka bersikap seperti tidak ada permasalahan. Itulah yang kemudian membuat sebagian aktivis SP LEM-SPSI bertekad untuk memisahkan diri dari SPSI.

Kebetulan saat itu saya mengenal Thamrin Mossi. Selain sebagai pengurus di Pimpinan Pusat, Thamrin juga duduk di DPD SP LEM-SPSI DKI Jakarta. Setelah berdiskusi beberapa kali, ternyata nyambung. Apa yang dia pikirkan dan apa yang ada dalam pikiran saya seperti memiliki kesamaan.

Namun demikian, saat itu saya masih hati-hati. Saya menimbang-nimbang, apakah orang ini bisa dipercaya atau tidak. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, pertemuan-pertemuan yang intensif, akhirnya terjalin rasa saling percaya.

Tahun 1998, terjadi reformasi. Reformasi membuat buruh di Indonesia semakin berani. Banyak buruh di DKI Jakarta yang turun ke jalan. Ikut aksi di DPR RI untuk menumbangkan Soeharto.

Saat itu tidak ada handphone seperti sekarang ini. Tetapi begitu tahu dari media televisi bahwa mahasiswa sudah bergerak, para buruh berbondong-bondong turun ke jalan. Kami juga melakukan aksi di DPP SPSI, meminta SPSI ikut mendukung reformasi.

Sebelumnya tidak pernah ada cerita para buruh melakukan aksi unjuk rasa. Itulah sebabnya, dalam peristiwa reformasi tersebut, buruh ibarat baru keluar dari sarangnya. Tumpah ruang ke jalan-jalan.

Setelah itu diskusi untuk membentuk serikat pekerja yang lebih militan semakin intensif dilakukan. Puncaknya adalah ketika FSPMI dibentuk. Terkait dengan pembentukan FSPMI, saya rasa Soeparno B sudah bercerita banyak. Kebetulan saya satu PUK dengan beliau.

Ketika jumlah anggota FSPMI masih sedikit, kami sering berjalan dari satu pabrik ke pabrik yang lain untuk mengajak para buruh bergabung dengan FSPMI. Ini hampir kami lakukan setiap hari.

Tidak semua yang kami datangi mau diajak bergabung. Apalagi saat itu, kita masih khusus untuk sektor industri metal. Penolakan demi penolakan yang kami rasakan, justru menempa kami untuk menjadi lebih tabah dalam berjuang. Kami tidak putus asa, terus mengajak buruh-buruh yang lain untuk berserikat. Bergabung dengan FSPMI.

Jika saat ini kita melihat FSPMI seperti sekarang ini, itu adalah buah dari proses yang panjang. Perjuangan dan pengorbanan yang tidak sebentar.

Di masa awal FSPMI berdiri, saya duduk sebagai pengurus di DPW dan PC FSPMI DKI Jakarta. Semangatnya saling mendukung. Tidak ada yang berebut ingin menjadi pengurus. Bahkan berebutnya adalah agar tidak terpilih sebagai pengurus.

Menjadi pengurus itu berat. Apalagi saat FSPMI belum memiliki apa-apa sangat berat. Saya tidak membandingkan dengan dulu, tetapi sekarang, dengan sarana dan prasarana yang lebih baik – FSPMI; sudah seharusnya organisasi ini semakin maju.

Saat masih belum mampu sewa, kantor PC DKI Jakarta bergabung dengan kantor serikat PUK Suzuki, Cakung. Setelah itu pindah ke Pulogadung, ketika kemudian FSPMI sudah berkembang, sewa di dekat Yamaha. Kantor DPW DKI Jakarta juga pernah bergabung dengan DPP. Alhamdulillah, saat ini FSPMI DKI Jakarta sudah memiliki kantor sendiri. Milik organisasi.

Kehadiran FSPMI mulai memberikan perubahan. Dalam setiap perundingan kenaikan upah minimum, FSPMI selalu berteriak lantang meminta upah layak yang itu artinya kenaikan upah lebih tinggi. Buruh tidak lagi bersedia diberi kenaikan upah yang ala kadarnya.

Bagi FSPMI, upah adalah urat nadi kehidupan kaum buruh. Sebab dengan upah yang mereka terima itulah, buruh akan menghidupi diri dan keluarganya. Bayangkan jika upah terus-terusan murah, maka buruh akan semakin jauh dari kesejahteraannya.

Kita tidak asal berbicara ketika menuntut upah layak. Sebab kita bisa membuktikan bahwa upah yang diterima buruh masih rendah. Kita melakukan survey pasar sendiri untuk mengimbangi survey pasar yang dilakukan Dewan Pengupahan.

Pos terkait