Jakarta, KPonline — Jamkeswatch Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) secara resmi menyampaikan penolakan terhadap penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam program BPJS Kesehatan. Penolakan ini disampaikan oleh Direktur Jamkeswatch FSPMI, Tommy Juniannur, melalui keterangan tertulis pada Senin, 20 Mei 2025.
KRIS merupakan Kelas Rawat Inap Standar yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 yang mana paling lambat 1 Juli 2025 ini akan diberlakukan, sistem ini menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam layanan rawat inap BPJS Kesehatan menjadi satu standar layanan tunggal dengan 12 kriteria minimum, salah satunya jumlah maksimal empat tempat tidur per kamar.
Menurut Tommy, penerapan KRIS berpotensi menimbulkan berbagai masalah serius, terutama dalam hal akses pelayanan dan pembiayaan.
Pertama, akan terjadi penurunan jumlah tempat tidur untuk peserta BPJS. Rumah sakit pemerintah hanya diwajibkan menyediakan 60 persen ruang rawat inap untuk peserta JKN, sementara rumah sakit swasta hanya 40 persen. Padahal saat ini hampir 100 persen tempat tidur di RS telah digunakan untuk peserta BPJS dan tetap penuh, bahkan banyak pasien yang harus menunggu di IGD.
“Jika ruang rawat inap untuk peserta BPJS dikurangi, maka masyarakat yang membutuhkan perawatan akan makin sulit mendapat kamar. Terlebih bagi peserta kelas 3, PBI, atau buruh yang terkena PHK, mereka tidak diperkenankan naik kelas jika ruang haknya penuh. Rumah sakit pun enggan menanggung karena pembayaran tetap sesuai kelas peserta,” tegas Tommy.
Kedua, KRIS menurunkan manfaat layanan rawat inap bagi pekerja. Buruh yang selama ini memiliki hak kelas 1 (dua tempat tidur per kamar), harus rela dipindah ke kamar berisi empat tempat tidur sesuai standar KRIS. Ini dianggap sebagai penurunan kualitas dan kenyamanan layanan.
Ketiga, KRIS dapat menaikkan iuran peserta JKN, terutama segmen mandiri dan pemerintah daerah. Dengan adanya penyatuan kelas, besar kemungkinan akan diterapkan iuran tunggal yang nilainya setara kelas 2 atau 1. Hal ini bisa menjadi beban baru bagi peserta mandiri kelas 3 dan bagi pemerintah kabupaten/kota yang selama ini membiayai iuran JKN dalam skema Universal Health Coverage (UHC).
“Jika iuran naik, banyak Pemda yang akan kesulitan mempertahankan status UHC karena anggarannya tidak mencukupi,” lanjut Tommy.
Jamkeswatch juga menilai rumah sakit swasta belum siap sepenuhnya menjalankan KRIS. Untuk memenuhi 12 kriteria KRIS, diperlukan anggaran besar dan waktu yang tidak singkat. Oleh karena itu, Jamkeswatch mendesak agar pemerintah tidak terburu-buru menerapkan KRIS secara nasional.
“Saat ini sistem kelas 1, 2, dan 3 berjalan baik dan diterima masyarakat. Mengapa harus diubah secara drastis?” ujarnya.
Sebagai solusi, Tommy mengusulkan agar seluruh iuran JKN masyarakat ditanggung negara jika KRIS tetap akan diberlakukan. Menurutnya, dana bisa diambil dari cukai rokok yang memang diperuntukkan untuk kepentingan kesehatan.
Berdasarkan perhitungan keekonomian :
– Jumlah penduduk Indonesia pada 2024 sekitar 282,4 juta jiwa
– Iuran kelas 3 menurut hitungan Aktuaria Rp50.000 per jiwa per bulan maka Total kebutuhan anggaran per tahun mencapai Rp169,4 triliun
– Sementara penerimaan cukai rokok pada 2023 sebesar Rp210 triliun dalam laporan APBN.
“Anggaran itu lebih dari cukup untuk membiayai seluruh rakyat tanpa membebani APBN tambahan. Jika negara serius ingin menjamin kesehatan rakyatnya, ini jalan logisnya,” kata Tommy.
Maka Dengan dasar tersebut Jamkeswatch FSPMI menyatakan sikap:
1. Menolak penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) karena kelas 1,2 dan 3 saat ini sudah diterima dengan baik oleh masyarakat.
2. Menolak kenaikan iuran peserta mandiri khususnya kelas 3 yang dapat menyulitkan masyarakat ditengah penurunan daya beli masyarakat saat ini.
3. Menuntut agar negara menanggung seluruh iuran peserta JKN jika KRIS tetap dijalankan.
Menurut Jamkeswatch, kesehatan adalah hak dasar rakyat, bukan komoditas. Penerapan kebijakan seperti KRIS harus berpihak pada aksesibilitas dan keadilan sosial, bukan efisiensi semata.