FSPMI dan Penentangan terhadap Kebijakan Upah Murah

FSPMI dan Penentangan terhadap Kebijakan Upah Murah

Purwakarta, KPonline–Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dikenal sebagai salah satu serikat pekerja yang konsisten menentang kebijakan upah murah. Sikap ini mencerminkan prinsip dasar FSPMI untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi pekerja, yang sering kali menjadi korban kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada tenaga kerja.

Berikut adalah sejumlah alasan mendasar mengapa FSPMI selalu menentang kebijakan upah murah dan bagaimana hal ini membedakannya dari serikat pekerja lainnya:

Bacaan Lainnya

1. Prinsip Kesejahteraan Pekerja

FSPMI berpegang pada prinsip bahwa pekerja adalah bagian penting dari sistem ekonomi. Kebijakan upah murah dianggap melanggengkan ketimpangan sosial dan ekonomi, di mana pekerja tidak mendapatkan imbalan yang layak atas kontribusi mereka terhadap produktivitas perusahaan. Dengan menentang upah murah, FSPMI menegaskan bahwa upah layak adalah hak dasar setiap pekerja untuk hidup sejahtera.

2. Memperjuangkan Konsep Upah Layak

Berbeda dari serikat pekerja lainnya yang mungkin fokus pada isu-isu lokal atau jangka pendek, FSPMI mengedepankan perjuangan untuk mewujudkan konsep decent living wage atau upah layak. Ini melibatkan perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) berdasarkan standar kehidupan manusiawi, mencakup biaya sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Kebijakan upah murah bertentangan dengan visi ini dan dianggap tidak manusiawi.

3. Menolak Eksploitasi Tenaga Kerja

FSPMI percaya bahwa kebijakan upah murah adalah bentuk eksploitasi terhadap tenaga kerja. Banyak pengusaha memanfaatkan kebijakan ini untuk menekan biaya produksi dan memaksimalkan keuntungan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan pekerja. FSPMI menentang eksploitasi semacam ini karena bertentangan dengan prinsip keadilan sosial.

4. Pandangan Jangka Panjang terhadap Pembangunan Ekonomi

Kebijakan upah murah sering kali didukung dengan alasan daya saing ekonomi dan menarik investasi asing. Namun, FSPMI memandang kebijakan ini sebagai solusi jangka pendek yang merugikan pembangunan ekonomi jangka panjang. Upah rendah menurunkan daya beli masyarakat, memperlebar jurang kesenjangan, dan melemahkan stabilitas sosial. FSPMI menawarkan pendekatan alternatif yang berfokus pada penguatan kapasitas pekerja dan pengembangan industri berbasis inovasi.

5. Konsistensi dalam Perjuangan Kolektif

FSPMI memiliki rekam jejak konsisten dalam memperjuangkan hak-hak pekerja, termasuk melawan kebijakan yang tidak adil. Sikap ini berbeda dari beberapa serikat pekerja lainnya yang kadang lebih kompromistis dalam menghadapi kebijakan pengusaha atau pemerintah. FSPMI menekankan pentingnya solidaritas dan keberanian untuk melawan kebijakan yang merugikan pekerja, termasuk aksi-aksi unjuk rasa besar-besaran sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan upah murah.

6. Membangun Kesadaran Kelas Pekerja

FSPMI aktif dalam membangun kesadaran pekerja tentang pentingnya hak-hak mereka. Kebijakan upah murah sering kali berjalan karena kurangnya kesadaran pekerja akan dampaknya. Dengan edukasi dan pelatihan, FSPMI membantu pekerja memahami bahwa mereka memiliki kekuatan kolektif untuk menolak kebijakan yang merugikan.

7. Menjaga Kehormatan dan Martabat Pekerja

FSPMI percaya bahwa kebijakan upah murah merendahkan martabat pekerja, seolah-olah mereka hanya dipandang sebagai alat produksi. Serikat ini memperjuangkan penghormatan terhadap pekerja sebagai manusia yang memiliki hak untuk hidup dengan layak dan bermartabat, tanpa harus dikorbankan demi keuntungan ekonomi semata.

Sebagai contoh, yaitu terjadinya polemik upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) 2025, dimana dari 18 kabupaten/kota di Jawa Barat yang telah mengajukan rekomendasi UMSK. Namun, keputusan Pj. Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin hanya menetapkan UMSK untuk Depok dan Subang, dan hal itu memicu keresahan di kalangan buruh.

Kemudian, FSPMI pun melakukan aksi unjuk rasa serentak diberbagai daerah kabupaten/kota, seperti; Purwakarta, Bogor, Bekasi Karawang dan daerah lainnya yang berada di wilayah Jawa Barat, mendesak kejelasan mengenai nasib UMSK.

Dan untuk di Kabupaten Purwakarta, Gelombang aksi buruh yang dipelopori Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Purwakarta membuahkan langkah baru dalam pembahasan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tahun 2025.

Dimana, setelah melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Bupati Purwakarta pada Jumat (27/12/2024), Dewan Pengupahan Kabupaten (Depekab) Purwakarta kembali menggelar perundingan untuk mencari solusi atas polemik yang terus bergulir di kalangan pekerja, pasca Pj. Gubernur Jawa Barat (Bey Machmudin) tidak menetapkan UMSK di Purwakarta.

Alhasil, gebrakan dari aksi Buruh FSPMI Purwakarta tersebut menuai harapan bagi kelas pekerja di Purwakarta dengan hadirnya Surat Keputusan Gubernur prihal UMSK untuk Kabupaten Purwakarta.

Intinya, FSPMI memiliki posisi yang tegas dan berbeda dalam menentang kebijakan upah murah. Prinsip keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan martabat pekerja menjadi landasan perjuangan mereka. Dengan konsistensi dan visi jangka panjang, FSPMI tidak hanya berjuang untuk perubahan kebijakan, tetapi juga untuk membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan. Sikap ini menempatkan FSPMI sebagai salah satu pelopor gerakan buruh yang berani dan visioner di Indonesia.

Pos terkait