Ditemui DPRD DKI Jakarta, Tim Longmarch Surabaya – Jakarta Bakal Dipertemukan dengan Dinas Kesehatan

Jakarta, KPonline – Aksi jalan kaki Surabaya – Jakarta yang dilakukan relawan Jamkeswatch sejak tanggal 19 September 2017 sudah memasuki Jakarta, pada Senin (16/10/2017). Setelah berkunjung ke kantor pusat BPJS Kesehatan, hari Selasa sore (17/10/2017) rombongan longmarch ditemui Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik, Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta Veri Yonnevil, dan didampingi beberapa anggota DPRD.

Dalam kesempatan ini, Deputi Presiden KSPI Muhamad Rusdi menyampaikan bahwa aksi jalan kaki Surabaya – Jakarta ini dimulai dari Tugu Pahlawan Surabaya dan rencananya akan berakhir di Istana Negara. Selama longmarch, banyak sekali aspirasi yang diserap dari masyarakat terkait dengan buruknya implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pelaksanaan BPJS Kesehatan.

Bacaan Lainnya

“Bahkan masih ada guru honorer di DKI Jakarta yang belum didaftarkan sebagai BPJS Kesehatan,” kata Rusdi. Lebih lanjut Rusdi mengatakan, seharusnya hal ini bisa dilayani oleh Pemda DKI Jakarta.

Direktur Jamkeswatch yang melakukan aksi jalan kaki Surabaya – Jakarta Ade Lukman menambahkan, bahwa berbagai permasalahan yang kerap ditemui di masyarakat adalah masih banyaknya orang miskin yang kesulitan mendapatkan pelayanan jaminan kesehatan.

Tim longmarch Surabaya – Jakarta foto bersama anggota DPRD DKI Jakarta, Selasa (17/10/2017).

Selain itu, Ade juga menyoroti masalah sosialisasi terkait dengan keberadaan BPJS Kesehatan masih kurang. Ade bercerita, saat di Lamongan dia menanyakan ke tukang becak, apakah si tukang becak tersebut mengetahui BPJS Kesehatan? Tukang becak justru balik bertanya, BPJS itu apa? Kalau BPJS saja tidak tahu, maka artinya dia tidak punya BPJS Kesehatan.

Oleh karena itu, menurut Ade, harus dilakukan sosialisasi yang menyeluruh kepada masyarakat terkait dengan keberadaan BPJS Kesehatan. Sehingga masyarakat bisa tahu, bahwa ada jaminan kesehatan yang akan melindungi dirinya ketika sakit.

Menanggapi hal itu, Veri Yonnevil menyampaikan bahwa Dinas Kesehatan DKI Jakarta merupakan salah satu dinas yang dianggap berhasil. Dimana saat ini, Dinas Kesehatan memiliki motto: “Ketuk pintu, layani dengan hati.”

Menurut Veri, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang sulit mendapatkan akses kesehatan di DKI Jakarta. Salah satunya adalah orang tersebut tidak mempunyai KTP DKI Jakarta.

Meskipun tidak memiliki KTP DKI Jakarta, kata Veri, bukan berarti hak untuk mendapat pelayanan kesehatan hilang. Tetapi prosesnya agak sedikit panjang. Ketika masuk rumah sakit, orang yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta tersebut harus datang ke Dinas Sosial. Nantinya Dinas Sosial akan mengeluarkan semacam nomor induk bahwa dia berada dalam pengawasan Dinas Sosial. Jika sudah mendapatkan nomor induk dari Dinas Sosial, maka bisa berobat di rumah sakit dengan tanggunggan BPJS Kesehatan.

”Tetapi kalau warga DKI Jakarta dan punya KTP, mau punya atau tidak punya BPJS tetap dilayani,” tegasnya.

Foto bersama longmarch Surabaya – Jakarta di depan gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (17/10/2017).

Veri menambahkan, untuk mencegah orang miskin ditolah di rumah sakit, Dinas Kesehatan DKI Jakarta membuat MOU dengan Rumah Sakit untuk tidak menolak pasien. Dari 105 rumah sakit di DKI Jakarta, saat ini (Selasa/17-10-2017) sudah 87 swasta menandatangani MOU.

“Inti dari MOU tersebut, siapapun pasien, mau keluarga miskin, atau kaya terkebih dahulu harus dilayani. Jangan karena persoalan uang muka kemudian tidak dilayani,” kata Veri. Apabila ada rumah sakit yang tidak bersedia menandatangani MOU, lanjut Veri, Dinas Kesehatan akan berkirim surat ke Kementerian Kesehatan agar mencabut izin rumah sakit tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Jamkeswatch Iswan Abdullah menyoroti masalah kamar rumah sakit yang sering kosong dan keberadaan ambulance yang sulit diakses oleh masyarakat. Menurut Iswan, pelayanan kesehatan di DKI Jakarta yang sudah baik ini harus ditingkatkan, agar bisa menjadi percontohan bagi daerah-daerah lain di tingkat nasional.

“Termasuk dengan menganggarkan 10% dari APBD untuk bidang kesehatan, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Kesehatan,” kata Iswan.

Sementara itu, Ketua Umum SPAMK FSPMI Heriyanto menyampaikan perihal kepesertaan BPJS Kesehatan bagi pekerja yang mengalami PHK.

Menurut Veri, apabila ada pekerja yang sudah tidak bekerja, maka dia meminta agar si pekerja melapor ke RT atau RW setempat. Nantinya RT/RW akan membuat pengantar bahwa yang bersangkutan sudah tidak bekerja, sehingga bisa menjadi peserta PBI. “Nanti daftar BPJS Kesehatan bisa di kelurahan,” katanya.

Namun demikian, Veri sepakat bahwa hal ini perlu ada peraturan yang lebih tegas, misalnya melalui Peraturan Daerah (Perda).

“Nanti kalau ketemu Anies – Sandi silakan diusulkan juga agar dibuatkan Perda terkait jaminan kesehatan untuk buruh yang di PHK,” pungkasnya.

Ditambahkan Veri, untuk menindaklanjuti audiensi ini, Komisi E DPRD DKI Jakarta akan mengagendakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Dinas Kesehatan minggu depan.

Sekretaris Jenderal FSPMI Riden Hatam Aziz dalam kesempatan ini meminta agar tim longmarch diizinkan menginap di kantor DPRD DKI Jakarta. Tetapi sayang, meskipun Veri setuju DPRD DKI Jakarta dijadikan tempat untuk menginap, tetapi pihak keamanan melarang.

Pos terkait