Begini Cara Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit

Ilustrasi perundingan bipartit.

Jakarta, KPonline – Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, yang dimaksud dengan perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

Selanjutnya, melalui Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, undang-undang mewajibkan setiap perselisihan hubungan industrial (termasuk perselisihan PHK) diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Bacaan Lainnya

Dalam melakukan perundingan bipartit, para pihak wajib: (a) memiliki itikad baik; (b) bersikap santun dan tidak anarkis; dan (c) menaati tata tertib perundingan yang disepakati.

Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Meskipun demikian, Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans Nomor: PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit menyebutkan, “Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2 (dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti permintaan perundingan.”

Itu artinya, ada dua hal yang membuat perundingan bipartit dianggap gagal.

Pertama, salah satu pihak menolak atau tidak menanggapi perundingan, padahal telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2 (dua) kali berturut-turut.

Kedua, telah dilakukan perundingan, tetapi setelah 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan tidak mencapai kesepakatan.

Berdasarkan Permenakertrans Nomor: PER.31/MEN/XII/2008, tahapan perundingan bipartit adalah sebagai berikut:

a. Tahap Sebelum Perundingan:

1) Pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya secara tertulis kepada pihak lainnya;

2) Apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja dalam perundingan;

3) Pihak pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung;

4) Dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-masing;

5) Dalam hal pihak pekerja yang merasa dirugikan bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang pekerja, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja yang merasa dirugikan;

6) Dalam hal perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya paling banyak 10 (sepuluh) orang.

b. Tahap Perundingan:

1) Kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan;

2) Kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis dan jadwal perundingan yang disepakati;

3) Dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya;

4) Para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati;

5) Dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja;

6) Setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;

7) Setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani, maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;

8) Hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama lengkap dan alamat para pihak; b. tanggal dan tempat perundingan; c. pokok masalah atau objek yang diperselisihkan; d. pendapat para pihak; e. kesimpulan atau hasil perundingan; f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

9) Rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak bersedia menandatanganinya;

c. Tahap Setelah Selesai Perundingan:

1) Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.

Di Pengadilan Hubungan Industrial, Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama. Maksudnya adalah, apabila Perjanjian Bersama sebagaimana tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

2) Apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Pos terkait