Aksi Tolak Omnibus Law, Buruh Dan DPR Aceh Sepakat Perkuat Otonomi Ketenagakerjaan di Aceh

Banda Aceh, KPonline – Aliansi Buruh Aceh yang beranggotakan sejumlah Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Aceh (KSPI, KSPSI, FSPMI, Aspek Indonesia, Gaspermindo, FSPTI, FSPPP, FSP ISI, FKUI, SPKA, PGRI, SPBUN dan Kobar GB) hari ini menggelar aksi unjuk rasa di DPRD I / DPRA dalam rangka menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI pada tanggal 05 Oktober 2020, bertepatan dengan HUT TNI ke 75.

Aksi unjuk rasa nasional yang dilakukan serempak seluruh Indonesia hari ini, khususnya di Provinsi Aceh diakhiri dengan Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi V DPRA yang salah satunya membidangi Ketenagakerjaan.

Bacaan Lainnya

Dalam penyampaian aspirasinya, Habibi Inseun selaku Sekretaris Aliansi Buruh Aceh menyatakan sikap kekecewaan dan mengecam tindakan DPR RI yang tanpa kompromi menetapkan dan mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja yang masih dianggap cacat secara substantif. DPR RI terus melakukan pengkhianatan kepada rakyat dengan memaksakan pengesahan UU kontroversial ini. Lebih lanjut kita juga mengapresiasi atas sikap dari F-PKS dan F-Demokrat yang tetap menolak pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja, pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Edy Jaswar mewakili FSPMI Aceh senada dengan pernyataan sebelumnya mengatakan kekecewaan yang mendalam terhadap keputusan yang diambil oleh DPR RI tanpa mempertimbangkan nurani dan nasib pekerja dan rakyat kedepan. DPR tidak mampu memilah mana kepentingan politik dan mana pula kepentingan dasar rakyat. Pengesahan omnibus Law ini jelas telah mengancam kedaulatan pekerja dan rakyat. Kami juga sangat menyesalkan pengkhianatan amanah rakyat oleh wakil rakyat di DPR RI. Upaya terakhir yang dapat dilakukan diantaranya adalah penguatan UU 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh khususnya pasal tentang Ketenagakerjaan sehingga Aceh dapat menguatkan dan menggunakan regulasi tersendiri dan tidak menerapkan Omnibus Law seperti halnya yang berlaku secara nasional.

Sementara itu, Muhammad Arnif mewakili Aspek Indonesia menyatakan bahwa DPR telah melanggar prosedur dan mekanisme pembuatan UU dan terlihat sekali ada upaya kejar tayang. Profesor, sarjana dan ahli hukum tidak dilibatkan secara seutuhnya dalam pembuatan UU ini. Makanya kami berani menyampaikan UU ini cacat hukum. Untuk itu kita bersama afiliasi nasional akan lakukan upaya Judicial Review terhadap UU ini, tegasnya.

Perwakilan pimpinan Aliansi Buruh Aceh yang lain juga menambahkan argumentasi terkait penolakan Omnibus Law, diantaranya terkait pengurangan pesangon, eksploitasi jam kerja, penghilangan berbagai cuti bagi pekerja perempuan, isu TKA dan peringanan hukuman bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran Ketengakerjaan.

Dalam sambutannya, ketua komisi V DPR Aceh, Rizal Fahlevi Kirani menyampaikan bahwa dari sejak Omnibus Law masih berupa RUU, kami dari DPR Aceh tegas menyatakan penolakan terhadap UU kontroversial ini, dan sampai saat ini kami masih tetap menolaknya. Namun apa hendak dikata bahwa keputusan akhirnya ada ditangan DPR RI. Kami atas nama perwakilan rakyat Aceh akan tetap bersama kaum pekerja/buruh Aceh, dan sepakat dengan usulan ABA untuk menguatkan UUPA dan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014 tentang ketenagakerjaan. Kami juga akan mengupayakan supaya otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada Aceh juga salah satunya terkait otonomi dalam hal ketenagakerjaan, pungkasnya.

Aksi hari ini juga menyepakati bahwa akan dibentuk Desk Ketenagakerjaan Bersama yang digagas oleh DPR Aceh dan melibatkan berbagai stakeholder ketenagakerjaan termasuk ABA dalam upaya membicarakan lebih lanjut terkait otonomi ketenagakerjaan di provinsi Aceh. (Edy Jaswar)

Pos terkait