Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh Perempuan yang Hamil

Aksi buruh perempuan di depan Gedung DPR/MPR medesak Konvensi ILO No 183 segera diratifikasi. (Foto: Herveen)

Jakarta, KPonline – Di beberapa perusahaan, pekerja yang menikah atau hamil diminta untuk mengundurkan diri. Peraturan yang seperti ini jelas merupakan sebuah pelanggaran. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

Kehamilan bukanlah alasan yang sah berdasarkan hukum untuk digunakan sebagai alasan memberhentikan pekerja, meskipun sudah diperjanjikan sebelumnya. Jika dalam perjanjian bersama diperjanjikan seperti itu, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Buruh Minta Diskriminasi Pajak Penghasilan Laki-laki dan Perempuan Diakhiri

Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa pekerja untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan dari pekerja itu sendiri, tanpa adanya intimidasi.

Pekerja perempuan yang hamil harus dilindungi dari kondisi kerja yang tidak manusiawi. Bahkan, dalam Pasal 76 ayat 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Ketentuan tersebut, sejalan dengan Pasal 3 Konvensi ILO Nomor 183 mengenai Perlindungan Maternitas.

Baca juga: Kaum Perempuan, Berjuanglah Demi Masa Depanmu

Pemerintah dan pengusaha sepatutnya mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa pekerja perempuan hamil tidak diwajibkan melakukan pekerjaan yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan anak dalam kandungan.

Mempekerjakan seorang perempuan pada pekerjaannya yang mengganggu kesehatannya atau kesehatan anaknya, harus dilarang selama masa kehamilan dan sampai sekurang-kurangnya tiga bulan setelah melahirkan dan lebih lama bila wanita itu merawat anaknya.

Hak untuk istirahat karena hamil dan melahirkan

Pekerja perempuan yang hamil dan melahirkan harus diberikan kesempatan untuk beristirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Hal yang sama juga berlaku bagi pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan. Dia berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Baca juga: Buruh Perempuan Desak Konvensi ILO No. 183 Diratifikasi: Ini Isi dari Konvensi Tersebut

Pada praktiknya, pekerja perempuan yang sedang hamil tidak selalu mudah menentukan kapan bisa mengambil haknya untuk cuti hamil dan melahirkan. Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya. Apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas istirahat melahirkan. Pekerja perempuan tetap berhak atas cuti melahirkan secara akumulatif selama 3 (tiga) bulan.

Pengusaha dapat mengatur pemberian hak cuti yang lebih dari ketentuan normatif, atau menyepakati pergeseran waktunya, dari masa cuti hamil ke masa cuti melahirkan, baik sebagian atau seluruhnya sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan atau kurang lebih 90 hari kalender. Selama 3 bulan cuti hamil/melahirkan tersebut, perusahaan tetap berkewajiban memberikah hak upah pekerja yang bersangkutan secara penuh.

Tidak hanya pekerja perempuan yang berhak mengambil istirahat hamil/melahirkan. Pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan atau pun mengalami keguguran juga berhak atas cuti kerja selama 2 hari dengan upah penuh dari perusahaan tempatnya bekerja. Ini adalah sebuah bentuk penghargaan atas hak perempuan yang sedang melahirkan.

Baca juga: Buruh Perempuan Indonesia Tuntut 14 Minggu Cuti Melahirkan

Perlu diketahui, saat ini buruh perempuan sedang memperjuangkan cuti melahirkan selama 14 minggu.

Saat ini, cuti melahirkan di Indonesia saat ini hanya bersikar 12 minggu dan jauh tertinggal dengan Vietnam dan India yang telah menerapkan cuti melahirkan selama 6 bulan lamanya. Akibatnya, anak-anak pekerja/buruh perempuan tidak mendapat air susu ibu yang memadai karena ibu harus kembali bekerja dibayangi dengan waktu cuti yang minim.

Dalam jangka waktu yang panjang, dapat dibayangkan kemunduran kualitas generasi penerus bangsa. Pekerja perempuan yang sedang hamil sengaja mengambil cuti melahirkan dalam waktu yang berdekatan dengan masa melahirkan, sehingga keselamatan ibu dan bayi terancam karena pekerja perempuan tersebut pada beberapa kasus melahirkan di lokasi kerja.

==========
Baca juga beragam artikel lain terkait dengan Buruh Perempuan yang diterbitkan KPonline.

Pos terkait