Bogor, KPonline – “Sejak kapan mulai nyari-nyari kerja sampingan kayak gini?” Pertanyaan ini gue ajukan ke seorang buruh harian lepas yang memang benar-benar dibayar upahnya per hari. Ya, setiap kali dia bekerja, pada hari itu juga dia menerima upah atas keringat yang dia keluarkan. Langsung tunai, tanpa melalui transfer bank atau layanan internet banking. Tidak ada ATM, tidak ada rekening. Dibayar tunai.
“Hanya 70 ribu per hari, Bang,” jawabnya sambil menatap kaca spion sebelah kiri. Gue bisa lihat pikirannya sedang melayang entah ke mana. Mungkin dia memikirkan ibunya yang sakit di rumah, tidak pernah mendapatkan perawatan yang memadai karena tidak punya BPJS Kesehatan. Atau mungkin memikirkan adik-adiknya yang masih bersekolah di tingkat SD dan SMP. Entahlah. Yang pasti, menurut pengakuan Euis (bukan nama sebenarnya), banyak rekan-rekannya yang juga berada dalam situasi serupa. Mereka mencari “kerja sampingan” yang oleh sebagian besar orang dianggap haram dan harus dijauhi.
“Udah lama, Bang. Sejak Ibu sakit aja. Butuh uang tambahan. Soalnya kalau nggak pakai pampers, kasian, Bang. Pipisnya ke mana-mana. Bukan karena gue malu, tapi adik-adik gue kan belum bisa merawat Ibu,” jawab Euis cepat, suaranya sedikit bergetar. Gue paham betul getaran di nadanya—sebuah kegetiran hidup yang memaksanya terjebak dalam pekerjaan yang merendahkan martabatnya. Meski sudah bekerja, Euis terpaksa harus “bekerja ekstra,” menjual tubuhnya, demi menutup kebutuhan keluarganya.
“Jangan kira gue senang ngelakuin kerjaan kayak gini. Sakit banget, Bang. Gue harus nenangin laki-laki yang gue nggak tau asal-usulnya. Nggak tau dari mana, dan abis ngapain aja. Bukan luka fisik, Bang, tapi sakitnya di sini,” katanya sambil menunjuk dadanya, suaranya meninggi, menceritakan betapa perih kehidupan yang harus dia jalani. Tinggal di pinggiran kota, yang seharusnya menggunakan standar UMK Jakarta, namun Euis hanya mendapat upah 70 ribu per hari.
“Pernah kita minta naik upah, Bang. Tapi jawaban mandor nyelekit banget, ‘Kalau mau terima segitu, kalau nggak mau, ya silahkan cari kerjaan lain,’” ujar Euis. Sedetik kemudian, air mata menetes dari sudut matanya.
Tempat kerja yang dimaksud Euis adalah satu-satunya pabrik garmen yang dekat dengan rumahnya. Mungkin dengan harapan bisa menghemat biaya transportasi. Namun, upah yang diterima jauh dari ekspektasi dan aturan ketenagakerjaan. “Tapi mau bagaimana lagi, Bang. Nyari kerjaan tuh susah banget. Kalau pun ada lowongan, banyak oknum pungli dan ‘biaya administrasi.’ Temen gue ada yang dimintain 5 juta. Ya, dia kerja sekarang, tapi gajinya nggak sesuai yang diomongin. Katanya 7 juta per bulan, tapi cuma 3,5 juta. Statusnya juga kontrak, cuma setahun,” lanjut Euis sambil menatap cermin makeup berwarna merah muda yang dia bawa dari tadi.
Upah, status, kesejahteraan, kesetaraan, kesempatan—semua itu masih sulit diterapkan di negara ini. Meski sudah ada aturan ketenagakerjaan, masih banyak pengusaha yang membayar upah di bawah standar, bahkan di bawah UMK. Jangan bicara kesejahteraan dulu, bereskan soal upah dulu. Upah adalah urat nadi kaum buruh, pekerja, dan masyarakat pekerja lainnya.
Soal halal atau haram pekerjaan Euis dan banyak lainnya, gue bisa memaklumi, tapi bukan berarti gue membenarkan. Jika ditilik dengan hati nurani, ada pergulatan batin yang muncul. Siapa sebenarnya yang lebih salah? Apakah Euis? Pengusaha? Pemerintah sebagai pembuat kebijakan? Atau Omnibus Law yang menjadi akar masalah ini?
Semua pihak bisa jadi bertanggung jawab dalam porsi masing-masing. Tapi saat kita bicara aturan, gue berharap ada satu hal lagi yang diutamakan, yaitu kebijaksanaan. Sebuah kebijakan tanpa kebijaksanaan hanya akan melahirkan korban. Sebut saja Euis. Karena upah yang sangat kecil, dia harus merelakan tubuhnya, menutup matanya atas dosa, hanya demi memenuhi kebutuhan hidupnya, ibunya, dan adik-adiknya.
Sebut saja DPR, yang merancang dan mengesahkan Omnibus Law. Sebut saja Jokowi, yang menerapkannya dengan alasan membuka lapangan kerja. Atau sebut para pengusaha yang kini menikmati angin sejuk Omnibus Law. Mereka bercanda dengan nasib banyak orang, memainkan kehidupan rakyat kecil yang hanya ingin harga kebutuhan pokok murah. Pada akhirnya, yang jadi korban jelas adalah Euis dan banyak buruh lainnya. Dan tanpa kita sadari, mungkin kita semua juga sedang menunggu giliran untuk menjadi korban.
(RDW6666)