Purwakarta, KPonline-Perjuangan serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB) di Indonesia memiliki akar yang panjang, berawal dari era kolonial hingga mencapai puncaknya pada masa reformasi 1998. Sebelum reformasi, kebebasan berserikat dibatasi oleh rezim Orde Baru, yang mengontrol serikat pekerja. Namun, reformasi membuka ruang baru bagi kebebasan berserikat, memungkinkan berdirinya berbagai serikat pekerja independen salah satunya seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Dan sejak saat itu (pasca orde baru), serikat pekerja atau serikat buruh telah memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak pekerja. Salah satu fokus utama mereka adalah upah layak. Pada akhir tahun 2012 misalnya, aksi besar-besaran yang dipimpin oleh FSPMI-KSPI berhasil mendorong kenaikan upah minimum signifikan di Jakarta pada tahun 2013, dari Rp1,5 juta menjadi Rp2,2 juta per bulan atau naik sebesar 43%. Meski kenaikan ini masih belum ideal, langkah tersebut menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan buruh di Indonesia.
Selain upah, serikat pekerja (FSPMI-KSPI) juga memperjuangkan isu-isu lain seperti jaminan sosial, kontrak kerja yang adil, dan perlindungan terhadap pekerja perempuan (cuti haid-cuti melahirkan). Sehingga atas hal itu, tentu saja tidak hanya meningkatkan kesejahteraan pekerja, tetapi juga memperkuat posisi serikat pekerja atau serikat buruh sebagai agen perubahan sosial.