Tanggapi UMK Sektor Garmen, Ketua Umum SPN: Buruh Menolak dan Siap Melawan

Jakarta, KPonline – Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kota Depok Diah Sadiah meralat pernyataannya. Sebelumnya, Diah mengatakan upah khusus sektor garmen di Depok besar 1,4 juta. Belakangan dia menyampaikan, pemerintah mengusulkan upah khusus sebesar Rp 2,9 juta untuk pekerja di perusahaan garmen.

Namun demikian, hal ini tidak menyurutkan sikap kaum buruh untuk menolak keberadaan upah di bawah upah minimum ini.

Bacaan Lainnya

Hal ini ditegaskan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN), Iwan Kusmawan. Iwan menolak keras dan tegas terkait dengan rencana pemerintah akan memberlakukan ketetapan upah minimum khusus untuk perusahaan garmen.

Menurut Ketua Indonesian Council IndustriALL ini, pertemuan yang di claim sebagai rapat penetapan upah yang dihadiri Wakil Presiden, Menaker, Gubernur Jawa Barat dan lain sebagainya itu bukanlah ajang legitimasi untuk menetapkan upah minimum khusus untuk tenaga kerja sektor padat karya atau Garmen. Pertemuan itu hanya membahas persoalan-persoalan terkait industri khususnya yang ada di sektor padat karya, dan sama sekali belum merujuk kepada sebuah keputusan final upah minimum khusus garmen. Jadi jelas belum ada legitimasi secara formal sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Merujuk pada Undang-Undang 13 tahun 2013, upah minimum terdiri dari Upah minimum provinsi, upah minimum sektor provinsi, upah minimum kabupaten/kota, dan upah minimum sektor kabupaten/kota. Di luar daripada upah-upah tersebut, ada yang namanya struktur skala upah. Ketika berbicara upah minimum sektoral baik provinsi maupun kabupaten/kota, maka nilainya harus diatas upah minimum provinsi maupun kabupaten/kota.

“Maka bagi kami, apapun hasil pembicaraan antara Wakil Presiden, Menaker, Gubernur Jabar, Apindo, BKPM dan sebagainya itu bukanlah satu-satunya rujukan untuk menetapkan upah minimum sektor padat karya atau Garmen seenaknya,” ucapnya

Sementara buruh sudah dari sejak awal meminta untuk dikembalikan kepada Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 agar penetapan upah minimum harus didasari pada kebutuhan hidup layak, pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Tapi nyatanya selama dua tahun ini hanya didasarkan kepada pertumbuhan ekonomi dan inflasi saja.

“Artinya pengusaha sudah di nina bobokan oleh PP Nomor 78 tahun 2015 tadi, terus kalau sekarang ada permasalahan di sektor padat karya, itu seharusnya tidak menjadi persoalan dengan lantas secara brutal menetapkan upah jauh dibawah upah minimum provinsi atau kota,” tutur Iwan Kusuma

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *