Tamu

Purwa hanya menatap dengan pandangan kosong. Mulutnya masih sedikit terbuka, seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tertahan oleh kekagetan luar biasa. Sementara orang yang ditatapnya bersikap menunggu, memperhatikan dengan pandangan tajam.

Anto dan Dian yang berada di sampingnya hanya diam mematung, mereka juga tak menyangka akan tamu yang datang ke sekretariat mereka.

Bacaan Lainnya

“Gimana, Mas Pur? Waktu kita hanya sedikit, bisa kita berangkat sekarang?” tanya orang itu sopan tapi tegas.

Purwa terhenyak gelagapan, tersadar dari kekagetannya. Ia memperhatikan lebih jelas tamu didepannya. Berpakaian safari gelap, terlihat jelas masih muda, perawakannya yang tinggi dan tegap ditambah roman muka yang tegas, menunjukkan bahwa orang didepannya ini terlatih secara militer.

Tadi gayanya saat memperkenalkan diri pun dengan sikap sempurna. Tutur kata dan nada bicaranya, terlihat didikan yang keras.

“Mas Pur?” Ia memanggilnya lagi.

“Oh … ba—baik!” sahut Purwa agak terbata. Lalu Purwa menghadapkan pandangannya ke arah Anto dan Dian yang sedang menatapnya dengan pucat.

“To, kamu dampingi saya,” kata Purwa dengan nada sedikit memerintah. “Dan Dian, laksanakan prosedur emergency jika saya dan Anto tak kembali malam ini.”

Dian hanya mengangguk pelan, namun sinar matanya melihat Purwa dan Anto bergantian dengan tatapan ngeri. Suasana tegang terasa di kami bertiga saat itu.

“Tenang saja Mas Pur, tidak ada apa-apa, tak perlu mengkhawatirkan sesuatu,” celetuk tamu kami itu, mulutnya memperlihatkan senyum samar. Rupanya ia memperhatikan gerak gerik dan perintah Purwa barusan.

“Iya Pak, ini hanya prosedur saja, biasa kami lakukan jika saya atau pengurus serikat kami menerima undangan dari pemerintah,” sahut Purwa lancar, ia sudah mulai bisa menguasai dirinya kembali.

Tadi ia sempat memperhatikan, tamu itu bersafari gelap dengan emblim didadanya bergambar burung Garuda bertuliskan SETIA WASPADA, yang ia tahu bahwa ia berhadapan dengan salah seorang personel PASPAMPRES.

Beberapa saat kemudian Ia dan Anto mengikuti anggota Paspampres itu yang berjalan dengan tegap didepan. Dua orang security perusahaan yang tadi mengantar tamu itu ke ruangan sekretariat mengawal di belakang kami.

Saat itu adalah menjelang istirahat di pabrik. Sebagian pekerja sudah ada yang berkerumun di halaman. Mereka saling berbisik saat rombongan kami lewat, dengan mata penuh tanya. Mungkin mereka sudah mendapat info jika ada tamu aparat ke PUK. Manager HRD dan beberapa staff tampak menunggu di lobby.

Tiga buah mobil berjejer di halaman itu, persis depan lobby. Ada belasan orang dengan pakaian dan perawakan yang sama terlihat bersiaga di sekitarnya.

“Gila! Ini kayak jemput pembesar aja! Pengawalan seperti itu,” bisik Anto nyaris tak terdengar. Anto sengaja berjalan memepetkan dirinya pada Purwa.

Purwa yang melihat hal itu juga balas berbisik, “Mungkin sih, antara jemput pembesar atau penjahat negara, kita gak tau.…”

PLAKK!

Anto menampar bahu Purwa pelan. “Sialan Lu! Nakut-nakutin gue aja!” Desis Anto gemas.

Purwa nyengir menahan tawa saat melihat wajah Anto begitu pucat. ‘Ada takutnya juga dia’ batin Purwa. Padahal setaunya Anto adalah orang yang paling berani di PUK-nya. Jika ada demo apapun, ia pasti berdiri paling depan, menghadap barisan pasukan aparat berperalatan lengkap yang menghadang. Tapi di jemput ginian ternyata keder juga dia.

“Ngapain lu cengar cengir?” Rupanya Anto melihat sisa cengiran diwajahku.
“Gak apa-apa, muka lu pucet kayak tembok belon di aci.”

Anto cemberut. Namun tak dapat menyembunyikan kecemasan di matanya.

Si Paspampres itu mendekati rombongan HRD yang berkumpul semakin banyak di teras lobby. Nampaknya semua Staff kantor keluar semua, lagipula memang waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi. Wajah-wajah ingin tahu dan penasaran terlihat jelas.

“Kami pamit dulu, Pak!” kata si Paspampres dengan gaya hormat sedikit membungkukkan bagian atas badannya. Sopan santun ala militer.

Pak Haryadi, Manager HRD mengangguk, “Iya, Pak. Silahkan, sampaikan salam kami ke bapak Presiden,” balasnya sambil tersenyum ramah.

“Coba lihat itu, Pur! Ama kita-kita mana ada ramah-ramah begitu! Dasar Manager gemblung!” desis Anto, greget sekali dia.

“Hussh!” Purwa menyikut perut Anto pelan.

“Saya sama Anto juga pamit, Pak. Nanti izin keluar diurus oleh Rendy, sekjen PUK saya ya, Pak.” Purwa ikutan berpamitan.

“Oh, tidak usah, karena ini panggilan dari negara, kalian saya bebaskan dari dokumen perizinan, berangkat saja. Jaga diri baik-baik. Bilang yang bagus-bagus tentang perusahaan kita,” jawab Pak Haryadi, mukanya ramah sekali. Sedetik, Purwa melihat kilat ancaman di sinar matanya.

“Baik, Pak. Jangan khawatir.” Sambil berkata demikian Purwa menarik lengan Anto yang terbengong-bengong dengan keramahan Manager HRD itu. Mengikuti si Paspampres yang sudah lebih dulu melangkah ke arah mobil paling depan.

Setiba di mobil paling depan, Purwa terkejut setengah mati, Anto juga ikut terperangah.

“Gila, Pur! Ini … inikan mobil … eh—“ Anto gelagapan.

Purwa tak menjawab, matanya masih melotot memandangi mobil berbentuk sedan mewah itu. Mercedez Bens keluaran terbaru. Bendera negara Nampak diujung depan. Plat nomor bertuliskan nama negaranya berhuruf besar dengan angka 1 dibawahnya. ‘Mobil Kepresidenan!’ batinnya berteriak keras.

“Silahkan, Mas Pur!” kata anggota Paspampres itu sambil membuka pintu mobil disamping belakang sebelah kiri.

Anto menyerobot langsung masuk mobil mendahului Purwa yang masih bengong. Hampir saja kepalanya terbentur pinggiran atap mobil jika si Paspampres tak sigap menempelkan tangan ke atas kepalanya.

Purwa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Anto yang ia anggap norak. Kemudian ia menyusul masuk ke dalam mobil. Pintu mobil ditutup dengan mengeluarkan suara pelan. Lalu si Paspampres duduk di depan samping supir, yang berseragam safari yang sama.

Purwa memperhatikan keluar dari kaca jendela. Belasan orang yang ia kira adalah anak buah si Paspampres ini sudah masuk ke mobil semua dengan sigap. Mobil yang berbeda, dua buah Land Cruiser berwarna hitam yang terlihat angker.

Dua motor besar dari kepolisian spesial pembuka jalan sudah menyalakan sirine. Meraung-raung memekakkan telinga. Kemudian dengan didahului dua motor besar tersebut, iring-iringan yang membawa Purwa dan Anto dengan cepat keluar dari halaman pabrik, menuju jalan raya dalam kawasan industry.

Jalan yang jika jam istirahat pasti ramai, karena ribuan pekerja keluar mencari makan siang itu, kini terlihat lengang. Ternyata hampir semua perempatan sudah di blokir oleh petugas dari polantas.

“Gila bener! Kita bener-bener kayak pejabat negara!” Anto nyeletuk, ada nada sumringah di suaranya.

“Iya sih,” jawab Purwa sambal menyandarkan punggungnya di kursi yang terlihat mewah itu.

“Mana kursinya empuk. Pantesan Presiden betah ya? Kursinya empuk gini!”

“Hush!” Purwa kembali menyikut perut Anto mendengar kalimat sarkas yang keluar dari mulutnya.

“Ha … ha … memang di buat empuk kursinya bung, biar Pak Presiden nyaman saat dalam perjalanan.” Sambil menoleh si Paspampres yang menjawab. “Dan posisi tempat dudukmu itu adalah posisi Pak Presiden duduk,” lanjutnya.

“Wah … wah … keren ini, siapa tau saya ketularan jadi Presiden nantinya,” kata Anto sambil matanya liar kesana kemari melihat isi mobil yang benar-benar terasa mewahnya.

“Iya, Presiden Kentut!” tukas Purwa.

“Kok, Presiden Kentut?”

“Iya lah! Kan, elu tukang kentut! Jadi ntar lu kumpulin kentuters seluruh dunia, lu jadi deh Presidennya.”

“Sial!” Anto bersungut-sungut. Purwa menahan ketawanya.

Si Paspampres kembali menoleh kearah kami, tersenyum sebentar kemudian berkata, “Gak apa-apa mas itu bermimpi, gak ada yang tahu nasib orang, ya.”

“Nah,tuh! Lu denger tuh Pur, apa kata komendan!” kata Anto berlagak, merasa ada yang memihaknya.

“Ini bener pak Presiden yang mengundang saya, Pak?” Purwa mengalihkan pembicaraan.

“Iya, ini perintah beliau tadi pagi,” jawab si Paspampres.

“Ketemunya di mana kita, Pak?”

“Di Istana. Pak Presiden akan menemui kalian di ruang tamu Kepresidenan. Hanya waktu kita tak lama, soalnya Pak Presiden akan bertemu banyak sekali tamu dari dalam dan luar negeri. Dan tamu pertama hari ini adalah kalian.”

“Walah! Keren amat kita ya, Pur! Jadi tamu pertama!” celetuk Anto bersemangat.

Tapi tiba-tiba si Paspampres menoleh ke arah kami, mukanya terlihat tegas, “Sebaiknya kita tak berbicara terlalu banyak didalam mobil ini,” katanya.

“Kenapa, Ndan?” Anto bertanya sok akrab.

“Karena mobil ini dilengkapi dengan alat perekam yang canggih, sehingga segala sesuatu yang terjadi di dalam mobil, akan terekam langsung, dan menjadi dokumentasi negara.”

Anto langsung terdiam. Mukanya mendadak pias. Sementara Purwa hanya senyum dikulum, karena ia sudah menebak hal itu.

“Santai saja gak usah tegang, lebih baik istirahat, lumayan satu jam lebih perjalanan ke istana,” sambungnya sambil kembali menghadap ke depan, dan mulai sibuk dengan gadget nya, mungkin sedang berkoordinasi dengan kawan-kawannya.

Purwa dan Anto saling pandang. Muka Anto nampak masih tegang, matanya seakan menanyakan sesuatu. Purwa akhirnya menggelengkan kepalanya setelah melihat Anto akan mulai berbicara. Anto hanya mengangkat bahu, lalu ia pun memperbaiki posisinya agar duduk dengan nyaman. Dan memejamkan matanya.

Purwa mengikuti, ia memejamkan matanya, mencoba menetralkan pikiran. Namun tak kuasa. Pikirannya malah terbang kesana sini. Menerka-nerka apa tujuan Presiden memanggil seorang ketua PUK seperti dia.

Padahal kemarin, Serikat Pekerja dimana PUK nya bernaung melakukan aksi besar-besaran. Dari kemarin lusa ia sudah menyiapkan semuanya untuk aksi hari itu. Pekerja yang shift satu rencananya akan stop produksi, pekerja shift dua dan tiga akan menunggu di depan pagar pabrik. Semua jajaran pengurus dan korlap sudah siap dengan aksi besar.

Tak disangka jika sorenya, saat rapat terakhir dengan korlap yang mengkondisikan anggota. Mereka terlihat cemas. Para Korlap melaporkan bahwa anggotanya tak ada yang berani untuk berhenti produksi. Karena tadi pada saat kerja, mereka didatangi oleh atasannya masing-masing, yang mengancam akan langsung memecat mereka jika ikut aksi.

Bahkan beredar kabar bahwa, banyak dari anggota yang tiba-tiba sakit saat berargumen dengan atasannya. Santet! Perusahaan menggunakan segala cara untuk menahan aksi mereka. Saat itu pun si Reni Bendahara PUK sedang sakit tak jelas, muntah-muntah tak henti. Sialan! Gerutu Purwa.

Lalu malamnya, ia dan tiga orang pengurus PUK termasuk Anto yang menjabat Ketua Bidang Aksi, dipanggil menghadap HRD. Di ruangan HRD, selain ditemui oleh Pak Haryadi, ada juga polisi berpakaian preman yang ia kenal sebagai Kasatintel Polda, dan ada juga penguasa limbah di pabriknya, yang ia tahu merupakan salah satu tokoh masyarakat di daerah itu. Yang tak segan-segan melakukan segala hal untuk mencapai tujuannya.

Percakapan terjadi, argument kami keluarkan, tapi ancaman demi ancaman dilakukan. Anto yang sifatnya berangasan sudah terlihat marah benar. Badannya bergetar menahan marah. Pak Haryadi yang memperhatikannya hanya menyeringai meremehkan. Suatu saat matanya berkilat. Dan ponsel Anto berdering. Sekilas Anto melihat layar ponsel dan langsung gugup.

Anto memberikan isyarat bahwa ia akan menerima telpon di luar ruangan. Ia pun keluar. Beberapa saat kemudian, ia masuk lagi dengan wajah pucat seperti mayat.

“Kenapa?” bisik Rudi yang duduk disebelahnya.

“Istri barusan telpon, anak saya tiba-tiba sakit panas tinggi!” jawabnya lirih. Tapi jawaban itu terdengar oleh kami semua. Purwa melihat Pak Haryadi saling pandang dengan penguasa limbah lalu tersenyum penuh arti.

Mau tak mau Anto meminta izin meninggalkan pabrik, untuk membawa anaknya ke dokter. Pak Haryadi langsung mengizinkan tanpa basa basi. Tetap dengan senyum seringai. Anto meninggalkan ruangan sambil melirik kearah pak Haryadi. Lirikannya penuh benci.

Kami tinggal bertiga. Rudi dan Dani yang dari tadi memperhatikan kejadian itu, menjadi gelisah. Mereka berdua hanya menunduk lesu.

“Purwa, bagaimana sekarang? Apakah kamu akan tetap keukeuh aksi besok dengan stop produksi?” tanya Pak Haryadi sambil tersenyum, senyum kemenangan.

Purwa hanya terdiam, pikirannya berkecamuk, antara taat instruksi organisasi atau keselamatan anggota dan keluarganya.

“Bagaimana, Ketua?” tanya Pak Haryadi lagi saat melihatnya hanya terdiam.

Purwa memandang ke arah tiga orang didepannya. Mereka ternyata sedang menatapnya dengan tajam. ‘Demi Allah! Saya gak ada rasa takut sedikitpun dengan kalian! Hanya kalian bermain licik dengan cara-cara iblis! Bangsat!’ Purwa mengutuk dalam hatinya.

“Baiklah, Pak. Jika perusahaan keberatan dengan aksi besok dengan alasan produksi urgen, kami terima. Mungkin besok hanya beberapa orang saja yang keluar, itupun dari shift 3 yang pulang pagi.” Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

Terdengar nafas lega dari dua rekannya. Sementara si Penguasa Limbah dan Kasatintel pun tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Hal itu yang terjadi sehari sebelum aksi, sehingga pabriknya menjadi sepi saat aksi besar dilakukan. Purwa tak menjawab pertanyaan-pertanyaan dari PUK-PUK lain yang menanyakan kenapa PUK nya yang ratusan orang jumlah anggotanya, hanya ada lima orang yang ikut aksi.

Dan sekarang dirinya di panggil ke istana? Wow, ada apa ini? Berbagai pertanyaan dan kemungkinan jawaban berseliweran di pikirannya. Namun ia tetap tak mengerti.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja mobil yang ditumpanginya sudah sampai didepan Istana Negara. Masuk melalui gerbang dijalan Veteran, dan berhenti tepat di serambi depan yang di kiri kanannya banyak anak tangga. Tanpa berkata apapun, kami turun dari mobil dan si Paspampres memberi isyarat agar kami mengikutinya.

Kami berjalan melalui pintu kaca hingga melewati koridor yang lumayan panjang, kemudian berbelok kearah barat hingga mencapai sebuah ruangan dengan beberapa kursi dan meja ditengahnya. Ruangan itu sepi, hanya ada sebuah pintu besar yang tertutup disisi kanannya, bertuliskan RUANG KERJA PRESIDEN.

“Silahkan menunggu disini, saya menghadap pak Presiden untuk memberi kabar,” kata Paspampres itu dengan gaya sopan. Kemudian ia berlalu menuju pintu, mengetuk perlahan dengan ketukan teratur. Lalu ia membuka pintu dan masuk kedalamnya. Seorang kawannya berjaga agak jauh ke arah koridor tempat kami lewat tadi.

Purwa dan Anto sibuk memandangi ruangan itu, yang konon katanya dulu tempat penyimpanan benda-benda pusaka. Kursi besar yang saling berdampingan dan meja kecil diantaranya. Bendera pusaka berjejer di belakangnya. Purwa tak hapal bendera apa saja yang dipajang disitu.

Kreeek….

Pintu terbuka, beberapa orang tampak bermunculan. Si Paspampres terlihat paling depan. Dibelakangnya berjalan seorang pria paruh baya, sedikit kurus, menggunakan kemeja panjang putih yang bagian lenganya di gulung hingga pergelangan.

‘Pak Presiden!’ batin Purwa berkata. Hampir berbareng ia dan Anto membungkukkan bagian atas tubuhnya memberi penghormatan. Pak Presiden tersenyum lebar. Senyum yang khas, yang sering Purwa melihat di tivi-tivi. Dua orang ajudan berjalan di kanan kirinya, masing-masing membawa sebuah kotak yang entah apa isinya.

“Selamat datang di istana Presiden,” kata Presiden dengan suara khas, wajahnya tersenyum. Tanpa sungkan, Presiden mengulurkan tangan kanannya, yang langsung dijabat oleh Purwa dan Anto bergantian. Jabatannya yang erat sekali.

“Terima kasih sudah mengundang kami, Pak Presiden,” sahut Purwa berusaha sesopan mungkin.

“Saya minta maaf mendadak menjemput anda lho, mas Pur dan mas Anto,” sahut Presiden dengan nada akrab. Aksen medoknya terasa sekali. Anto hanya terkesima, tak menjawab.

“Saya mengundang anda, hanya sekedar untuk memberi hadiah atas kerjasama yang telah anda tunjukkan di PUK anda,” kata Presiden lagi.

“Kerjasama? Hadiah? Ka—kami tidak mengerti , Pak Presiden,” jawab Purwa agak gugup, karena ia memang sungguh tak mengerti.

“Iya, kalian telah bekerjasama untuk tidak mengeluarkan pekerja di aksi buruh kemarin.” Tanpa menunggu jawaban, Presiden memberi isyarat pada dua ajudannya. Keduanya pun dengan sikap militer menghampiri kami, dan memberikan masing-masing sebuah kotak, yang besarnya seperti map, hanya lebih tebal.

Purwa menerima dengan takzim sambil menerka-nerka apakah gerangan isinya, diikuti Anto.

“Ini bentuk apresiasi saya, isinya tak seberapa, hanya masing-masing mendapat voucher senilai lima ratus juta rupiah, dan tiket liburan ke Singapur selama tiga hari bersama seluruh keluarga,” kata Presiden menjelaskan.

Dag, dig, dug….

Jantung Purwa berdebar dengan kencang. Matanya melekat ke kotak yang sekarang ada di kedua tangannya. Anto malah sempoyongan hingga mundur dua langkah. Kaget sekali!

“I—ini—” Purwa tak sempat melanjutkan perkataannya karena Presiden melambaikan tangannya memberi isyarat agar ia berhenti bicara.

“Sudah … sudah …. terima saja, anggap saja hadiah karena mendukung undang-undang syaa bikin,” potong Presiden.

Lalu ia menoleh ke arah si Paspampres. “Bawa mereka keluar!” perintah Presiden padanya.

“Siap, Pak!” sahutnya tegas sambil memberi hormat ala militer.

Presiden tak menjawab, hanya menopangkan kedua tangan ke belakang punggungnya. Gaya khasnya jika sedang memperhatikan sesuatu.

Kemudian si Paspampres menghampiri Purwa yang lidahnya terasa kelu dan Anto yang terlihat kesulitan mengatur nafas kagetnya.

“Ayo, ikut saya!” hardiknya, kali ini suaranya terdengar tak ramah. Purwa tambah kaget akan perubahan nada si Paspampres. Tapi kakinya malah susah ia gerakkan.

Tiba-tiba si Paspampres mendorong punggung kami berdua dengan keras hingga kami jatuh bergulingan kearah koridor, keluar dari ruang tamu itu. Untung Purwa masih ingat gerakan beladiri jika jatuh seperti itu, langsung ia melentingkan tubuhnya keatas dan mendarat dengan kedua kaki lebih dulu.

Ia melihat Anto yang tak bisa menguasai kesembangan tubuhnya, terus berguling sepanjang koridor dan terhenti di pintu kaca serambi depan. Purwa menoleh dengan penasaran ke si Paspampres, berniat akan protes.

Ceklek!

Yang ia lihat hanya moncong pistol genggam ditujukan kearahnya. Si Paspampres memberi isyarat dengan moncong pistolnya dengan gerakan tak sabar, membuat Purwa membalikkan badan dan setengah berlari mengejar arah bergulingnya Anto.

Di belakangnya terdengar suara tawa Presiden yang khas. Semakin lama semakin keras. Memekakkan telinganya. Lalu berubah menjadi suara tawa yang menyeramkan. Purwo menjadi panik, ia berlari semakain cepat, namun koridor itu seakan bertambah panjang. Anto yang ia lihat berguling tadi malah semakin jauh.

Sementara itu suara tawa yang menyeramkan seakan mengikuti di belakangnya. Semakin cepat ia berlari semakin mengerikan suara tawa sang Presiden. Akhirnya ia tiba di tempat Anto berhenti berguling.

Anto langsung memeluk pinggangnya, “Pur! Gue takut!”

Purwa tak kuasa menjawab, ia hanya mampu mengedipkan matanya. Sekilas ia memandang kearah Presiden. Matanya terbelalak. Ya ampun! Presiden yang tadi menyambutnya sudah berbeda. Yang ia lihat sekarang adalah seorang berkulit hitam legam dan menggunakan mahkota dari bulu burung, entah burung apa.

Dua orang ajudannya pun berubah menjadi dua orang yang berkulit legam, hanya berseragam yang sama. Purwa terkejut setengah mati, hatinya mulai ngeri. Ia lalu menarik lengan Anto keluar dari pintu kaca, menuju anak tangga di serambi itu.

Aneh sekali, tangga itu menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Tanpa pikir panjang Purwa setengah menyeret lengan Anto menuruni anak tangga, yang semakin cepat ia melangkah, ujung anak tangga semakin jauh dibawahnya.

Akhirnya dengan susah payah ia tiba di anak tangga terakhir. Berhenti sejenak dan melihat keatas, Purwa terkejut, karena bangunan istana tadi tak terlihat saking tingginya. Berarti tadi sudah ribuan anak tangga yang ia turuni.

“Pur … huft … Pur … aku, a—aku capek!” ucap Anto dengan nafas tersengal-sengal.

Kembali Purwa tak menjawab. Hanya pandangannya nanar melihat kedepan, kearah gerbang istana. Tadi saat masuk tak tampak seorangpun disana. Sekarang banyak manusia berkumpul dikanan kiri jalan setapak menuju gerbang istana. Ratusan jumlahnya.

Mereka semua berperawakan sama dengan Presiden dan ajudannya tadi. Orang berkulit legam, seperti orang dari benua afrika. Mereka bersuara riuh rendah, menunjuk-nunjuk kearah kami dengan Bahasa yang tak dimengerti.

Purwa bingung setengah mati, negara apa yang ia masuki ini? Pikirnya. Lalu Purwa kembali menyeret lengan Anto berjalan melalui iringan orang-orang itu. Terdengar suara tawa bersahut-sahutan. Mereka semua tertawa sambil menunjuk kearahnya.

Anto panik, namun rasa beraninya mendadak timbul, ia berjalan didepan Purwa dengan gaya menantang. Kedua tinjunya mengepal. Badannya bergetar, menandakan emosi yang meluap. Orang-orang itu malah semakin riuh, suara tawa mereka semakin keras.

Purwa mendorong Anto agar segera berlari menuju pintu gerbang. Anehnya, semakin cepat mereka berlari, pintu gerbang itu malah semakin menjauh. Sialan!

Tiba-tiba beberapa orang yang tinggi besar menangkap Anto, dan langsung melemparkannya ke arah pintu gerbang, kuat sekali. Tubuh Anto melayang jauh, hingga tak terlihat. Purwa semakin panik. Beberapa tangan yang berotot besar mecoba meraihnya. Tapi ia sudah siap, ia menghindar sambil melakukan salto seperti kincir, sehingga tangan dan kakinya bergantian menginjak tanah.

Suara tawa malah semakin keras, semakin menyeramkan. Telinganya berdengung tak kuat mendengar suara-suara tawa yang menyerupai tawa iblis itu. Kepalanya mulai berdenyut, sakitnya tak terkira. Sudah puluhan kali ia melakukan salto kincir. Akhirnya tenaganya terkuras habis. Di sisa tenaganya, ia menghentakkan kakinya dengan keras dan melakukan salto diudara, lalu tubuhnya lemas, melayang jatuh.

Bruk!

Tubuhnya terbanting tengkurap tepat di luar pintu gerbang Istana. Purwa sudah tak bisa lagi menguasai tubuhnya. Sempat ia menolehkan kepalanya ke arah pintu gerbang, dan membaca tulisan besar di atasnya, REPUBLIC OF CONGO.

Dan ia pun nyaris tak sadar. Telinganya masih terngiang suara tawa seram dari kumpulan orang itu. Tawa-tawa itu seakan menggerayangi tubuhnya. Mengguncang-guncangkan tubuhnya. Purwa mencoba meronta, tapi ia tak kuasa menggerakkan semua anggota tubuhnya.

Tubuhnya semakin terguncang. Hingga beberapa saat, akhirnya bunyi suara tawa itu mengecil lalu menghilang. Berganti dengan suara yang sepertinya ia kenal, hanya ia lupa lagi. Suara itu semakin keras menggantikan suara tawa yang seram sebelumnya.

Semakin lama kesadarannya semakin pulih. Tubuhnya masih terasa diguncang-guncang. Suara itu kini terdengar jelas sekali.

“Mas Pur!”

“Mas Pur! Bangun!”

Purwa membuka matanya perlahan. Ia melihat Reni Bendaharanya, sedang mengguncang-guncang tubuhnya. Roman mukanya khawatir. Purwa lalu mengangkat tangannya menandakan bahwa dirinya sudah tersadar. Reni menarik nafas lega.

“Kamu mimpi ya? Teriak-teriak sendiri gak jelas. Makanya kalo tidur siang di PUK jangan kelamaan! Mimpi buruk tuh!” omel Reni nyerocos.

Purwa tersadar betul kini. Ia lihat baju seragam pabrik yang warnanya putih-putih itu sudah basah oleh keringat. Kursi panjang tempat ia tidur tadipun sebagian basah, rembesan dari seragamnya. Ia ingat, tadi tertidur di kursi itu, di ruangan sekretariat PUK.

“Sialan!” gerutunya dalam hati. Jadi dari tadi itu ia hanya bermimpi. Sekalinya mimpi ketemu Presiden, malah Presiden di afrika sana. Dan kotak berisi voucher lima ratus juta? Purwa reflek melihat sekelilingnya, matanya mencari. Tapi tak nampak kotak apapun.

“Bangsat!” Purwa teriak keras-keras.

———————–
Tamat.

…………………..

Penulis Yous As

Pos terkait