Sepasang Kekasih Di Barisan Depan (bagian 2)

Robert mengalami luka-luka hampir disekujur bagian kepalanya, merah lebam wajahnya, benjolan sebesar kepalan bayi menyembul, akibat pukulan dan tendangan dari aparat yang brutal melewati ambang batas kemanusiaan. Tidak hanya Robert, ada juga Jupri, Ikhsan, Maulana, Siti dan puluhan buruh lainnya yang mengalami hal yang senasib dengan Robert. Bahkan ada yang mengalami luka bakar dibagian lengan dan wajah, akibat lontaran kaleng gas air mata yang mengenai mereka.

Bahkan belasan lainnya mengalami hal yang lebih mengerikan. Setelah dipukuli dan ditendang beramai-ramai seperti maling ayam, mereka diseret dan digelandang ke kantor aparat terdekat. Pujo, Laksmi, Udin dan belasan buruh lainnya tak berdaya ketika dicokok dari atas mobil komando. Dan tak ada satu pun buruh, yang berani mendekati mereka.

“Yang berani mendekat, berarti mau diangkut seperti teman-temannya ini!” Suara kesombongan dari salah seorang petinggi aparat dengan 2 buah kembang melati diatas bahunya. Dirinya merasa menang, karena telah sukses menggebuk dan memukul mundur aksi demonstrasi buruh.

Dipinggir jalan kawasan industri, dekat pohon randu, Robert masih belum sadarkan diri. Beramai-ramai dirinya yang masih lemah dan lunglai tak berdaya, diangkat menuju mobil bak terbuka. Mobil milik pengelola kawasan industri itu memang sengaja diberhentikan oleh kawan-kawan buruh yang lain.

“Bawa Robert dan yang lainnya ke klinik Medika, di ujung jalan sana. Nanti biar kawan-kawan Garda Metal disana yang urus. Yang lain, sweeping semua kawasan. Bangunkan semua buruh yang ada. Kita balas malam ini juga!” setengah berteriak laki-laki itu berkata. Matanya memerah seperti akan keluar dari tengkoraknya.

Baca juga : Sepasang kekasih di barisan depan ( bagian 1)

Disalah satu sudut Klinik Medika, Dwanti masih diberikan nafas bantuan dengan tabung oksigen. Wajahnya ditutupi dengan handuk kecil berwarna putih, yang sudah dibasahi dengan air. Narsih berada disamping Dwanti, kondisinya agak lebih baik, jika dibandingkan dengan Dwanti. Hanya ada luka lecet dibagian keningnya, dan kadang dia terbatuk-batuk, sepertinya aroma menyengat gas air mata masih menempel di kerongkongannya.

“Sih.. Narsih..” Dwanti setengah mengerang memanggil nama sahabatnya. Tersedak aroma gas air mata memang luar biasa pedihnya.

Mata perih, kerongkongan seperti terbakar, mata berkunang-kunang, rasa mual yang terus menerus tak kunjung henti-hentinya. Dwanti terbatuk-batuk untuk beberapa saat, sambil mencoba mencari-cari sahabatnya yang sebenarnya terluka. Narsih terkena pukulan tongkat rotan aparat, ada benjolan kecil dan sedikit berdarah dikeningnya.

“Opo Nti? Arep ngombe kowe? tanya Narsih dengan bahasa dan logat Jawa yang kental. Dwanti paham apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu, maklum 10 tahun bersahabat sepertinya sudah menyatukan perbedaan suku, agama dan bahasa mereka. Pun meski Dwanti berasal dari Sumatera Utara, seringnya berinteraksi dengan orang-orang yang juga sesama pendatang, membuat keduanya sudah saling mengerti dan memahami satu sama lain.

“Bojoku endi, Sih? Wes ketemu?” sambil terbatuk-batuk dan dengan bahasa Jawa semampunya, Dwanti mencoba mencari tahu keberadaan suaminya. Yang ada didalam isi kepalanya saat ini hanyalah suaminya, anak-anaknya dan kondisi mereka saat ini.

“Aku rep balik, Sih?” tutur Dwanti dengan setengah berbisik.

“Bah, apa pula kau ini! Jangan macam-macam kau ini! Sembuh saja dulu. Bangun dari kasur ini pun, kau tak mampu! cegah Narsih, menirukan logat Batak dari sahabatnya, meskipun logat asli Jawa Narsih lebih kental terdengar. Dan Dwanti pun kembali menatap langit-langit klinik Medika. Tak berapa lama kemudian, dia pun tertidur kembali.

“Aparat brengsek! Ada berapa orang kawan-kawan kita yang terluka? kesal Supri yang saat itu pelipis matanya yang sebelah kiri sudah menempel perban. Bahkan tangan kirinya ada 6 jahitan akibat menangkis ayunan tongkat aparat. Jalannya pun agak sedikit pincang, akibat tendangan dan hantaman serta pukulan aparat.

“26 kawan kita ditangkap Bang. 36 orang luka berat, 82 orang luka ringan. Sama satu lagi Bang, Robert kritis di Klinik Medika. Tadinya mau kita bawa ke Rumah Sakit, tapi dihalang-halangi sama pihak aparat” jawab Budi dengan hati-hati.

“Kalo kita bawa pake ambulance, pasti beresiko Bang. Mending agak malam kita bawa si Robert, tapi pake mobil PC Bang” jelas Budi, menarasikan rencananya kepada Supri.

Supri menatap sekellingnya, yang nampak hanyalah wajah-wajah lelah, penuh putus asa dan kekalahan. Sebagai salah seorang pemimpin dilapangan, Supri merasa bersalah, resah dan gundah. Khawatir semangat juang kawan-kawannya akan menurun, karena selalu mengalami kekalahan demi kekalahan. Dirinya “misuh-misuh tidak karuan” dipojokan salah satu ruangan PC, memikirkan sesuatu yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Beberapa saat dia berdiri tanpa arti, telepon selulernya berdering.

“Pak, pulang jam berapa? Aku masak sayur lodeh kesukaanmu loh” terdengar suara lembut Surti, istri tercintanya.

“Oh ya, kalo pulang nanti mampir ke tukang buah yang didepan Mie Ayam Wonogiri, yang deket rumahnya Lek Wardi itu loh Pak. Ya Pak?” cecar Surti kepada Supri, yang pikirannya masih linglung dan bingung.

“Ada uangnya Pak? tanya Surti kepada suami yang usianya sudah berkepala 4 itu

“Ada. Ada Bu” sambil merogoh kantong celana dan juga mengeluarkan dompet dari kantong belakang, yang ternyata tidak ada isinya. Selembar pun tak nampak, hanya kertas-kertas tak berarti yang saling berhimpitan satu dengan yang lainnya.

“Bud.. Budi” setengah berteriak Supri memanggil Budi yang berada diruangan sebelah.

“Iya Bang, ada apa Bang?” tanya Budi dengan santai. Sambil menatap wajah Budi, dengan agak sedikit ragu, gugup dan tersipu malu,

“Kamu punya duit Bud? tanya Supri.

“Ada nih Bang” sambil merogoh kantong depan celana yang terlihat kedodoran, lalu menyerahkan selembar uang kertas 20 ribu kepada Supri.

“Besok saya ganti ya Bud” sambil memasang cengir kuda kepada Budi. Dan bagi Budi, adalah hal yang biasa terjadi seperti itu, dan tidak hanya sekali atau dua kali ini saja. Entah, mungkin sudah belasan atau puluhan kali. Tapi bagi Budi, itulah bentuk solidaritas tanpa batas yang nyata.

Di Klinik Medika, ternyata Dwanti dan Robert berada disatu ruangan yang sama. Kasur mereka pun dengan sengaja didekatkan oleh kawan-kawan mereka. Air mata Narsih meleleh diatas pipinya yang mirip bakpao Koh Akiong, tukang bakpao yang suka keliling kawasan industri menggunakan sepeda onthel. Dirinya tak kuasa ketika menatap kedua sahabatnya, sekaligus kawan seperjuangannya, saling meraih tangan pasangannya masing-masing. Nampak lemah dan lelah. Dwanti yang tidak terlalu parah lukanya, menggerakkan lengannya, mencoba menggapai tangan Robert.

Tidak hanya kejadian tersebut, yang membuat air matanya mengalir. Narsih pun mencoba-coba mengingat, siapa yang akan menidurkan Riko dan Riki, kedua bocah kembar nan ganteng dan menggemaskan tersebut malam ini. Mbak Lastri, pengasuh kedua anak tersebut apakah sudah tahu keadaan Dwanti dan Robert? Apa jadinya jika, Riko dan Riki mengetahui keadaan orang tuanya saat ini? Mengingat hal tersebut, Narsih menjadi panik dan mulai menghubungi beberapa orang melalui sambungan telepon seluler.

Jabat erat kedua tangan Dwanti dan Robert semakin erat. Pun meski selang infus menempel di kedua lengan mereka.

(bersambung)