UMSK Karawang Tahun 2019 Ditolak Ratusan Pengusaha

FSPMI Karawang menolak revisi UU Ketenagakerjaan, Selasa (13/8/2019).

Jakarta, KPonline – Sedikitnya 136 perusahaan menolak Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Karawang mengenai rekomendasi Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tahun 2019. Surat penolakan ini sudah diserahkan Apindo kepada Disnakertrans Jawa Barat, Jumat (23/8/2019).

Berbagai perusahaan tersebut terdiri dari sejumlah sektor. Terdiri dari sektor komponen, sektor elektronik, sektor baja, sektor kimia, sektor rokok, sektor makanan dan minuman, sektor galian bukan logam, dan sektor plastik.

Bacaan Lainnya

Menurut Ketua DPK Apindo Karawang Abdul Syukur, penolakan tersebut dilatarbelakangi lantaran rekomendasi UMSK 2019 yang diajukan Bupati Kabupaten Karawang bertentangan dengan PP 78/2015. Dimana dalam regulasi tersebut disebutkan, UMSK harus terlebih dulu diproses melalui kesepakatan antara serikat sektor dan asosiasi sektor. Namun yang terjadi, Pemerintah Kabupaten Karawang membuat rekomendasi tanpa ada kesepakatan sebelumnya dengan pihaknya.

“Dan gubenur pun di sana ditegaskan tidak bisa mengambil diskresi terkait dengan UMSK. Karena kalau tidak ada kesepakatan, maka berlaku upah yang lama selama upahnya itu tidak lebih rendah dari UMK,” ujar Syukur.

Nilai UMSK Dianggap Memberatkan Industri

Menurut dia, nilai UMSK 2019 yang dirokemendasikan oleh Bupati Kabupaten Karawang cenderung memberatkan industri, yaitu di angka Rp 4,2 juta hingga Rp 4,9 juta. Sehingga akan berdampak terhadap daya saing industri di Kabupaten Karawang dibandingkan dengan di daerah lain.

Syukur mencotohkan, industri garmen di Kabupaten Karawang harus membayar upah Rp 4,2 juta sementara di Kabupaten Subang hanya Rp1,8 juta. Ketimpangan angka tersebut otomatis akan sangat memberatkan untuk dapat bersaing. Hal tersebut berlaku juga di sektor industri lainnya.

“Dampak dari upah ini sangat jelas. Karawang pengangguran tertinggi nomor tiga di Jabar. Dan tahun 2017-2018 sudah banyak industri yang hengkang dari Karawang. Ada yang ke Majalengka, ada yang ke Jepara bahkan ada yang ke luar negeri. Karena upah di Karawang paling tinggi se-Asia Tenggara. Dan ini menjadi tantangan tersendiri,” katanya.

Dengan upah yang cenderung tinggi dibanding daerah lainnya itu, dia sampaikan, masyarakat di Kabupaten Karawang sendiri akan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Sebab, jika industri tersebut sukar untuk bersaing maka akan melakukan efisiensi seperti pengurangan karyawan.

Gubernur Jawa Barat Diminta Mencari Jalan Keluar

Terkait dengan hal itu, Sekretaris Eksekutif DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Rudi Martino, mengatakan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memiliki tantangan untuk mencari jalan keluar atas keluhan 136 perusahan berbagai sektor di Kabupaten Karawang yang menolak Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Karawang mengenai rekomendasi Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) 2019.

“Ini test case bagi gubernur kita, kalau beliau bisa mengatasi masalah ini dia lulus ya dari aspek ketenagakerjaan hubungan industrial utamanya pengupahan,” ujar Rudi.

Menurut Rudi, Kabupaten Karawang sebagai daerah Industri menjadi tolak ukur kondusifitas iklim perusahaan di Jawa Barat. Bilamana permasalahan ini dapat diatasi oleh Pemprov Jabar, maka pihaknya menilai Gubernur Ridwan Kamil lulus dari ujian tersebut.

“Karena seperti visi misi beliau sendiri kan Jabar juara, Jabar juara pekerja juara. Enggak mungkin ada Jabar juara pekerja juara kalau pengusaha tidak juara duluan,” katanya.

Rudi berharap Pemprov Jabar melalui Disnakertrans sebagai leading sektor dapat menangani permasalahan industri di Kabupaten Karawang. Bilamana tidak mendapatkan jalan keluar, manurut dia, akan berimbas pada banyaknya pihak yang merugi.

“Kalau tidak tertangani dengan baik kita akan rugi semua, pengusaha, pekerja dan pemerintah,” katanya.

Rudi melanjutkan, jika perusahaan bangkrut atau pindah ke daerah, provinsi, bahkan negara lain, maka yang akan terkena dampak adalah para pekerja. Karena itu, sistem pengupahan adalah masalah yang sangat urgent karena ruh dari hubungan utama industrial ketenagakerjaan adalah pengupahan.

“Apalagi Karawang menjadi perhatian kita semua, bukan hanya di Jabar tapi bahkan di nasional. Presiden dan wakil presiden juga pasti memperhatikan ini. Jadi untuk menyelesaikannya harus se-taat azas mungkin seperti yang Kang Emil (sapaan Ridwan Kamil) sering sampaikan,” katanya.

Solusinya Perkecil Disparitas, Bukan Menahan UMSK

Jika UMSK Karawang tahun 2019 ditolak pengusaha, kalangan buruh justru mendesak agar UMSK segera diberlakukan. Hal ini, karena, dengan belum disahkannya USMK 2019, banyak buruh yang upahnya tidak mengalami kenaikan karena dibayar sesuai dengan upah tahun lalu.

Sikap ngotot buruh Karawang ini bukan tanpa alasan. Bagaimanapun, UMSK adalah hak pekerja sebagaimana yang tertuang di dalam UU Ketenagakerjaan. Selain upah berdasarkan wilayah, juga diatur mengenai upah berdasarkan sektor industri. Lagipula, sejak beberapa tahun yang lalu di Karawang sudah diberlakukan UMSK. Kebiasaan adalah hukum yang tidak bisa begitu saja dihapuskan.

Kalau alasannya disparitas, sebagaimana dicontoh industri garmen di Kabupaten Karawang harus membayar upah Rp 4,2 juta sementara di Kabupaten Subang hanya Rp1,8 juta; solusinya bukan tidak mengesahkan UMSK. Bagi buruh, solusi terbaik adalah dengan menaikkan upah di Subang menjadi 4,2 juta.

Bukan karena gara-gara yang lain rendah, kemudian yang tinggi akan dikurangi. Ini cara berfikir yang salah tentang kesejahteraan.

Buruh di Subang pun juga tidak akan tinggal diam. Mereka juga akan terus bergerak untuk memastikan agar upah yang mereka terima benar-benar layak.

Pos terkait