Senja di Pulau Penawar Rindu

Batam,KPonline – Belakang Padang merupakan sebuah kawasan terluar di negara republik indonesia, kawasan ini merupakan sebuah kecamatan yang berada dalam pemerintahan kota Batam

Penduduk setempat menuturkan sebelum Pulau Batam dikelola oleh Pertamina tahun 1971 yang selanjutnya di ambil alih Otorita Batam (OB), Belakang Padang sudah lebih dahulu di kenal di bandingkan Pulau Batam, bagi para pelaut internasional nama Belakang Padang sudah tidak asing.

Bacaan Lainnya

Penduduk asli Pulau Penawar Rindu adalah orang-rang Melayu yang dikenal dengan sebutan orang Selat atau orang laut. Penduduk asli tersebut sudah menempati wilayah Belakang Padang sejak zaman kerajaan Tumasik (Singapura) dipenghujung tahun 1300 atau awal abad ke-14. Malahan kemungkinan lainnya pulau ini telah didiami orang sejak tahun 231 Masehi dan konon pada saat itu pulau ini lebih dikenal dengan nama Pulau Lanun atau Pulau Bajak Laut karena sebagian besar penduduk yang tinggal di pulau ini adalah para bajak laut yang merompak kapal-kapal yang sedang melintas di sekitar perairan Selat Malaka.

Dulu, masyarakat di pulau ini menggunakan dolar Singapura sebagai alat transaksi jual beli mereka, dan pemerintah Singapura tidak mempermasalahkan warga dari pulau ini keluar masuk ke negaranya.

 

Belakang Padang berada di antara perairan Selat Malaka dan selat Singapura, yaitu terletak di jalur pelayaran internasional

Untuk menuju ke Belakang Padang, kita harus menyeberang menggunakan perahu pancung atau disebut juga motor sangkut dari pelabuhan rakyat Sekupang. Gerbang masuk pelabuhan rakyat ini tepat sebelum gerbang masuk ke Terminal Ferry Internasional Sekupang, belok kiri. Biaya sekali menyeberang menggunakan pancung adalah 15 ribu.

Perjalanan menuju ke Belakang Padang ditempuh kurang lebih sekitar 15 menit, tergantung kondisi ombak dan arus. Sedikit tips, pilihlah tempat duduk bagian tengah atau belakang, karena kalau di depan, kamu akan kena cipratan ombak sekalipun ada terpal yang menutupi. Minimal sepatu akan basah karena cipratan air juga menyelinap melalui celah di antara terpal dan lantai perahu.

Kami tiba di dermaga Belakang Padang ketika siang bergegas melipat dirinya. Dan sebentar lagi petang datang, langit telah berubah menjadi sayup-sayup jingga

Kami selalu menikmati pemandangan ini. Awalnya di sebuah pantai, di tepi taman, atau di pelataran masjid . Namun ternyata, kita semakin sering duduk bersama hanya untuk menikmati senja. Hingga suatu hari, kita sepakat meluangkan waktu demi berburu senja dari tempat-tempat yang berbeda

Aku selalu menyukai senja dan kehangatan yang terasa setiap kali kamu tersenyum dan tertawa.

“Senyum,” katamu, mengambil kamera poket dari tas dan membidikkannya ke wajahku. Ada senja yang jingga sebagai latar belakangnya

Dalam hitungan kurang dari tiga, jarimu menjepretkan kamera.

Kamu tersenyum puas, menunjukkan hasilnya. “Bagus ya?” katamu, dan aku hanya bisa bergumam sambil berbisik bahwa aku menginginkanmu bukan hanya sebagai teman menikmati senja hari. Namun juga kelak bisa terus menikmati senja saat usia kita tua. Kita bukan anak kemarin sore yang baru kasmaran. kita telah khatam melalui jalan yang berliku panjang.

Kita kemudian menyusuri pulau itu dengan menggunakan becak, pengayuh becak dengan senang menceritakan kepada kami pulau ini, tentang penduduknya dan tentang pusara yang kita lewati.

Bintang putih mulai berpijar di angkasa ketika sepasang kopi yang kita pesan telah datang dan lampu kota Singapura berkelap-kelip di kejauhan ketika kita hendak beranjak pulang

Kita pulang dari Belakang Padang dengan perasaan lengang. Lapang. Ya, segalanya memang menjadi ringan setelah menyadari muara dari segala keindahan dan liku kehidupan adalah Dia Yang Esa. Eksotisme tempat yang disebut-sebut sebagai “Pulau Penawar Rindu” itu membuat hati segar. Sesegar hembusan angin pantainya yang kerap kali terasa begitu kencang. (ete)

Pos terkait