Satu Tahun Penggusuran, Warga Tambakrejo Semarang Masih Bertahan dan Berjuang Menuntut Hak Tempat Tinggal yang Layak

Semarang, KPOnline – Setahun sudah, sebanyak 97 KK warga kampung Tambakrejo RT 16 RW 5, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang digusur oleh Satpol PP Kota Semarang. Penggusuran yang dilakukan dengan alasan adanya proyek Normalisasi Kanal Banjir Timur (KBT) Kota Semarang tersebut, membuat warga Tambakrejo kehilangan ruang hidup dan penghidupannya seperti rumah, tempat bekerja, dan menyisakan trauma yang mendalam khususnya anak-anak dan perempuan.

Sampai saat ini Sabtu (9/5/2020), sejak penggusuran tersebut, sebanyak 58 KK warga Tambakrejo yang berjumlah sekitar 190 orang terpaksa harus tinggal di 3 (tiga) Bedeng Hunian Sementara (Bedeng Huntara). Masing-masing Bedeng tersebut berukuran sekitar 10×20 meter yang kemudian dibuat kamar-kamar dimana satu kamar untuk satu kepala keluarga (KK) dengan ukuran per kamar sekitar 2.5 meter x 3 meter.

Bacaan Lainnya

Dalam kondisi Pandemi Covid-19 ini, kondisi perekonomian dari nelayan Tambakrejo semakin menurun. Sebab selain kondisi cuaca yang masuk musim pancaroba sehingga mempengaruhi hasil tangkapan ikan di laut, juga pasaran yang tidak stabil untuk menjual hasil tangkapan, seperti yang disampaikan oleh Marjuki salah seorang nelayan Tambakrejo.

“Kondisi pasar untuk menjual ikan sekarang tidak stabil, kadang naik kadang turun bahkan kadang tidak laku sama sekali apalagi sekarang masuk di musim pancaroba, sehingga mempengaruhi tangkapan ikan. Kadang dapat dan kadang tidak,” ungkapnya.

Sedangkan untuk kondisi perempuan dan anak-anak diceritakan oleh Fadhilah yang juga korban penggusuran Tambakrejo sebelum pandemi Covid-19 sebenarnya sudah akan bangkit namun menjadi terpukul kembali akibat pandemi ini.

“Sebelum adanya virus kondisi ibu-ibu di sini sebenarnya hampir bangkit, namun setelah adanya virus corona ini mengalami kendala karena mayoritas ibu-ibu yang ada di sini mayoritas bekerja sebagai buruh pengupas udang, pengupas kerang dan membuat ikan asin menjadi terhenti. Bahkan ibu-ibu yang bekerja di industri garment pun juga mengalami PHK. praktis hampir 100% perempuan di sini jadi menganggur,” ucapnya.

“Kemudian untuk kondisi anak-anak yang diliburkan kami kesulitan untuk terus mengatur agar anak-anak tetap di rumah karena kondisi hunian kami selama ini tidak memungkinkan untuk memaksa anak-anak tetap di rumah,” imbuhnya kemudian.

Dari pemerintah kota pun pasca penggusuran sampai sebelum pandemi covid-19 terjadi belum pernah memberikan bantuan ekonomi kepada korban penggusuran, hanya dari masyarakat sipil saja yang bersolidaritas kepada masyarakat. Baru setelah adanya pandemi covid-19 ini berlangsung, dari pemerintah dan dinas sosial memberikan bantuan kepada warga dengan alasan terdampak covid-19.

Dengan kondisi ekonomi yang carut marut akibat penggusuran setahun yang lalu, ditambah dengan pandemi covid-19 yang sedang berlangsung, mau tak mau warga Tambakrejo menghadapi ancaman kesehatan serta krisis pangan yang tinggi, mereka terus bertahan dan terus berjuang menuntut pemenuhan Hak Atas Tempat Tinggal yang layak.

Seperti yang diungkapkan oleh Nico Wauran selaku pendamping warga Tambakrejo, dari LBH Semarang sudah setahun berusaha memperjuangkan agar warga mendapatkan hak tempat tinggal layak yang sudah dijanjikan oleh Pemerintah Kota Semarang, namun sampai saat ini belum terealisasi

“Pada akhir Maret tahun ini kita mencoba untuk audensi dengan pihak Pemerintah Kota untuk menanyakan sejauh mana hasil dari mediasi tanggal 12 Mei 2019 atau 3 hari pasca penggusuran, dimana dalam mediasi tersebut Pemerintah Kota akan membuatkan hunian yang dekat dengan laut di tahun 2020. Namun sampai bulan Mei 2020 ini belum nampak pembangunan fisik di lokasi yang direncanakan,” jelasnya.

“Jawaban yang diberikan oleh Pemerintah Kota baru sebatas proses perijinan di lokasi agar bisa dilakukan pembangunan dan perijinan lingkungan.” lanjut Nico kemudian.
(sup)

Pos terkait