Resah Marsinah

Marsinah

Jakarta, KPonline – Tepat hari ini, 26 tahun yang lalu. Saat itu tanggal 8 Mei 1993.

Seorang perempuan ditemukan sudah tidak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Jenazahnya divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk. Hasil visum et repertum menunjukkan ada luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh perempuan malang ini. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selaput dara perempuan itu robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.

Bacaan Lainnya

Seperti tidak yakin dengan hasil visum yang itu, setelah dimakamkan, tubuh perempuan ini kembali diotopsi. Kali ini dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping. Tulang kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter. Juga pendarahan di dalam rongga perut.

Perempuan itu, adalah Marsinah. Buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur.

Marsinah hilang dan ditemukan dalam kondisi tak bernyawa setelah beberapa hari sebelumnya memimpin pemogokan di tempatnya bekerja. Itu terjadi, setelah Yudo Prakoso, koordinator aksi dalam pemogokan di hari pertama ditangkap dan dibawa ke Kantor Koramil 0816/04 Porong. Yudo diinterogasi karena telah mengorganisasi pemogokan dan dituduh melakukan protes dengan cara yang mirip aksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Mogok kerja di hari pertama itu tak mempan. Prakoso disibukkan dengan pemanggilan oleh aparat militer.

Hingga kemudian, Marsinah tampil ke depan untuk memimpin protes para buruh. Sehari setelah pemanggilan Yudo ke koramil, tanggal 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak manajemen PT CPS bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh. Dalam perundingan, hadir pula petugas dari Dinas Tenaga Kerja, petugas Kecamatan Siring, serta perwakilan polisi dan Koramil. Pelibatan aparat negara dalam perundingan itu menimbulkan kecanggungan. Semua tuntutan akhirnya dikabulkan, kecuali membubarkan SPSI di tingkat pabrik. Pimpinan perusahaan menganggap hal itu menjadi kewenangan internal SPSI.

Namun di hari itu juga, berdasarkan kronologi yang dirangkai Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM), Yudo Prakoso, buruh yang dianggap dalang pemogokan, mendapat surat panggilan dari Koramil Porong. Dalam surat bernomor B/1011V/1993 itu, Prakoso diminta datang ke kantor Kodim 0816 Sidoarjo. Surat itu ditandatangani Pasi Intel Kodim Sidoarjo Kapten Sugeng.

Di Kodim Sidoarjo, Prakoso juga diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja. Esoknya, 12 buruh mendapat surat yang sama. Mereka diminta hadir ke kantor Kodim Sidoarjo, menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Tapi surat panggilan itu berasal dari kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa bernama Abdul Rozak. Tiga belas buruh itu dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira Seksi Intel Kodim Kamadi. Tanpa basa-basi, Kamadi meminta Prakoso dan 12 buruh lain mengundurkan diri dari PT CPS. Alasannya, tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan.

Kamadi dan Sugeng menyiapkan surat pengunduran diri yang menyatakan 13 buruh itu telah melakukan rapat ilegal untuk merencanakan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja. Mereka dianggap telah menghasut buruh lainnya untuk ikut protes. Berada dalam tekanan, akhirnya 13 buruh itu menandatangani surat pengunduran diri. PHK itu tak dilakukan pihak perusahaan melainkan oleh aparat Kodim Sidoarjo.

Emosi Marsinah memuncak ketika mengtahui rekannya dipaksa mengundurkan diri. Dia meminta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS. Sebab dalam surat kesepakatan itu, ada poin yang menyatakan pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah aksi mogok kerja.

Tanggal 6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, adalah libur nasional untuk memperingati Hari Raya Waisak. Esoknya buruh kembali bekerja, tapi tak ada satupun yang melihat Marsinah. Beberapa rekannya mengira Marsinah pulang kampung ke Nganjuk. Kemudian kabar duka itu datang. Marsinah dibunuh.

Resah Marsinah

Tentu saja kita resah. Sebab hingga kini, setelah 26 tahun berlalu, belum terungkap siapa pembunuh Marsinah. Banyak pihak menduga, tentara berada di balik kematian Marsinah.

Kejadian ini sekaligus membuka mata kita, bahwa perjuangan kaum buruh selalu dibenturkan dengan intimidasi dan kekerasan. Bahkan tak jarang berakibat pada hilangnya nyawa. Tuntutan agar kasus ini diungkap hingga terang benderang, sejatinya juga hendak mengatakan, agar peristiwa yang sama tidak terulang.

Marsinah adalah simbol perjuangan kaum buruh. Ia berani mengambil resiko, tampil ke depan, untuk memastikan hak-hak kaum buruh bisa didapatkan. Itulah sebabnya, kita harus melanjutkan spirit Marsinah. Bahwa kaum buruh harus memiliki kesadaran, kemudian bergabung di dalam serikat untuk kemudian berjuang bersama-sama.

Marsinah berani. Maka kita juga harus berani.

Ada banyak kisah tentang para pekerja perempuan pemberani. Kisah-kisah tersebut, salah satunya bisa dibaca dalam buku Perempuan di Garis Depan. Sebuah buku yang ditulis oleh buruh perempuan, untuk mengisahkan bagaimana kemampuan perempuan dalam membela hak-haknya.

Itulah sebabnya, kita akan terus bersuara agar dalang pembunuh Marsinah diungkap. Pada saat yang sama, kita juga menyerukan agar kaum buruh berserikat. Jangan biarkan kematian Marsinah sia-sia. Kita akan terus merawat ingatan dan melanjutkan cita-cita Marsinah, terus berjuang…

Pos terkait