Rabu ini Sidang Perdana Uji Formil, Jalan Terjal Buruh Tolak UU Ciptaker

Potret seorang buruh yang sedang berunjuk rasa di depan gedung MK menuntut pembatalan UU Cipta Kerja

Jakarta,KPonline – Presiden Konferedasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pada konferensi pers yang digelar secara daring pada Senin, (19/4/2021) mengatakan ribuan buruh akan menggelar aksi pada Rabu 21 April 2021

“Demonstrasi ini ialah bentuk dari solidaritas untuk mendorong MK mengabulkan permohonan akan pembatalan UU Ciptaker” Ungkapnya

Bacaan Lainnya

Konferensi pers ini juga dihadiri oleh presiden FSPMI Riden Hatam Aziz, yang juga penggugat uji formil UU Ciptaker, dan Said Salahudin selaku kuasa hukum pemohon.

Sebelumnya, berkas gugatan uji formil UU Ciptaker sudah dilayangkan kepada MK sejak 15 Desember 2020, namun baru teregistrasi pada 14 April 2021.

“Ada 4 bulan jeda baru diregistrasi, seperti yang sudah diketahui, MK memprioritaskan sidang perkara selisih atas hasil pilkada sehingga perkara lain tertunda,” jelas Said Salahudin. Setelah teregistrasi, uji formil baru dijadwalkan akan disidangkan pada Rabu, 21 april 2021 mendatang

Catatan redaksi Istilah uji formil sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam persidangan di MK. Banyak sudah permohonan uji formil yang disidangkan di lembaga ini, meski jumlahnya kalah banyak dengan permohonan uji materi.

Hak uji formil sendiri berarti wewenang untuk menilai, apakah pembentukan sebuah undang-undang telah melalui cara-cara atau prosedur sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.

Artinya, pengujian secara formil sebuah undang-undang akan meneliti dan menilai bagaimana undang-undang itu dibuat, sejak tahap pembahasan, pengesahan, pengundangan dalam lembaran negara dan pemberlakuan. Sehingga, yang dipermasalahkan di sini adalah proses pembuatan undang-undang dan bukan isinya.

Karena itu, sesuai dengan Pasal 51 ayat (3) a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, setiap pemohon uji formil “wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Sementara ada lebih dari satu permohonan yang telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi mengenai UU Cipta Kerja ini. Banyaknya permohonan yang masuk biasanya sebanding dengan besarnya penolakan masyarakat terhadap suatu undang-undang.

Ada tiga tantangan yang dihadapi dalam proses pengujian formil. Pertama, beban pembuktian yang dimiliki pemohon dengan DPR dan Presiden tidak berimbang, akibat terbatasnya akses pemohon untuk memperoleh dokumen dalam proses pembentukan undang-undang. Masyarakat sering tidak diberi akses oleh Pemerintah maupun DPR untuk memperoleh dokumen-dokumen yang digunakan selama proses pembentukan undang-undang, meskipun sebenarnya secara hukum dokumen-dokumen tersebut bersifat publik.

Dokumen perumusan penting untuk menunjang dalil-dalil permohonan. Sedangkan dalam proses pembuktian di persidangan, DPR maupun Pemerintah juga kerap tidak mengajukan kelengkapan bukti yang dapat membantu MK dalam memeriksa perkara, seperti risalah sidang pembentukan undang-undang yang sedang diuji. Padahal dalam risalah, kita bisa menggali pembahasan dari setiap fraksi, dialog antara pembentuk undang-undang dengan berbagai pihak, serta bagaimana pengambilan keputusan dilakukan dalam pembahasan suatu RUU.

Kedua, penggunaan batu uji masih terbatas.Selain konstitusi, batu uji yang digunakan dalam pengujian formil ialah undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan tata tertib lembaga pembentuk undang-undang. Sebab proses pembentukan undang-undang memang tidak diatur secara rinci dalam UUD 1945. Dalam praktik, keterbatasan pengaturan menyebabkan Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusi yang juga terbatas. Tak jarang, dalil permohonan pemohon terpatahkan dengan penilaian Mahkamah Konstitusi bahwa pembentuk undang-undang telah membentuk undang-undang sesuai dengan konstitusi, karena hanya melihat prosedur yang diatur hanya prinsip-prinsipnya di dalam konstitusi.

Padahal justru peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi menuntut MK untuk melihat konstitusi secara luas, melampaui teks yang tertulis. Penggunaan konstitusi sebagai batu uji tidak bisa dibatasi pada sejumlah pasal, tetapi juga menjadikan nilai-nilai konstitusional (constitutional values) dan prinsip-prinsip dasar (basic principles) sebagai panduan dan acuan untuk menilai norma dan tindakan dalam proses pembentukan norma. Selain itu, UUD 1945 harus disadari bukan saja merupakan “the supreme source of law,” tetapi juga merupakan “the supreme source of ethics” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, UUD 1945 bukan saja merupakan hukum yang tertinggi, tetapi juga etika yang tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang salah satu penjabarannya tertuang dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang sampai sekarang masih sah berlaku secara hukum. Karena itu, etika konstitusi (constitutional ethics) harus dilihat juga sebagai sumber rujukan konstitusional yang sah untuk menilai proses pembahasan dan pengesahan undang-undang.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi lebih mengedepankan asas kemanfaatan daripada asas keadilan dan kepastian hukum, dalam konteks tiga pertimbangan asas dari Gustav Radbruch (1932) yang kerap digunakan dalam penalaran hukum. Asas kemanfaatan ini pernah digunakan MK dalam memutus perkara pengujian formil No. 27/PUU-VII/2009 tentang pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Menurut pandangan Mahkamah Konstitusi, meskipun terdapat cacat prosedural dalam pembentukan UU MA, tetapi secara materil UU MA tidak menimbulkan persoalan hukum. Apabila UU MA yang cacat prosedural tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena dalam UU MA justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari undang-undang yang diubah. Dengan pertimbangan yang didasarkan asas kemanfaatan demi tercapainya tujuan hukum, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU MA tidak perlu dinyatakan sebagai undang-undang yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan UU MA tetap berlaku.

Salah satu ciri penting sebuah negara hukum adalah adanya asas legalitas guna menciptakan kepastian hukum dan memberikan perlindungan yang sebesar-besarnya kepada warga negara terhadap kemungkinan sikap atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara. Dalam konteks ini, Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 gagal memberikan jaminan kepastian hukum tersebut karena telah mengambil suatu keputusan hukum yang antara temuan fakta yang terungkap selama dalam proses persidangan pengujian formil UU MA, dengan amar putusan atas perkara dimaksud saling bertolak belakang atau kontradiktif.

Selain tidak ada kepastian hukum, Putusan MK No. 27/PUUVII/2009 ini rentan dianggap akan menjadi gambaran buruk bagi pencari keadilan dalam proses pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi ke depan, karena sifat putusannya yang tidak bisa diukur oleh publik (terutama pemohon) secara objektif menurut peraturan perundang-undangan yang ada. Penggunaan asas kemanfaatan oleh Mahkamah Konstitusi dapat menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam pengujian undang-undang. Sementara itu, pelanggaran prosedur yang terus dilakukan DPR dan Presiden merupakan bentuk praktik pengabaian terhadap hukum. Hukum acara Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi panduan tidak bisa lagi menjadi pedoman yang memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, karena sewaktu-waktu dapat disimpangi dan diabaikan dengan alasan keadilan dan kemanfaatan yang sebenarnya sangat rentan menjadi perdebatan. (et)

Pos terkait