PP 78/2015 Momentum Buruh Memperkuat Gerakan

Buruh menolak PP 78/2015 tentang Pengupahan

Batam,KPonline -Pemerintah Jokowi sepertinya kan terus berusaha meyakinkan investor untuk menamamkan investasinya di Indonesia dengan cara memposisikan buruh sebagai kaum yang bisa di tindas dan layak di bayar murah. Buruh di posisikan sebagai barang komoditas. Dengan adanya sistem kontrak, outsourcing dan yang terbaru sistem magang, buruh bisa diperjual belikan layaknya barang dagangan.

Setelah sukses dengan PP 78/2015 tentang pengupahan yang buruh menganggap PP tersebut selain cacat secara legal formal, jugs ada beberapa dampak negatif jika dilihat dari segi ekonomi politik dari PP pengupahan tersebut. Pertama :PP pengupahan kontra-demokrasi dan bentuk deradikalisasi. Dengan adanya formula baku penetapan upah maka peran kaum buruh dihilangkan.

Bacaan Lainnya

Mekanisme tripartit tidak berlaku lagi. Tidak dilibatkannya serikat buruh dalam menentukan upah (lewat Dewan Pengupahan), pemerintah dan pengusaha ingin menahan radikalisasi gerakan buruh pada kenaikan upah. Maksudnya, pada mekanisme tripartit yang melibatkan Dewan Pengupahan massa serikat buruh bisa menekan Dewan Pengupahan dari bawah melalui aksi.

Sebagai contoh, pada masa Orde Baru kenaikan upah tidak pernah lebih dari 10%. Baru pada tahun 2009 upah mengalami kenaikan tertinggi pertama kalinya yaitu 40%. Kenaikan 40% itu bisa terjadi karena dewan pengupahan ditekan oleh kaum buruh dari bawah melalui aksi massa.

PP No.78/2015 menutup radikaliasi tekanan dari bawah karena menghilangkan peran Dewan Pengupahan dalam penetapan upah. Bisa dikatakan tidak akan terjadi lagi lonjakan upah yang signifikan walaupun gerakan buruh memberikan tekanan.

Padahal rata-rata UMP maupun UMK di Indonesia masih rendah. Banyak daerah besaran UMP hanya sekitar 1jt-2jt rupiah. Ini artinya kedepannya daerah yang masih memiliki UMP rendah tidak akan mengalami peningkatan secara signifikan.

Kedua, perusahaan memanfaatkan letak geografis yang membedakan besarnya upah yang signifikan. Dengan adanya diferensiasi upah yang cukup tinggi antara daerah industri dan daerah lain, mengakibatkan perusahaan mengembangkan sayap ke daerah yang masih memiliki upah rendah. Contohnya, sejumlah industri sepatu di Surabaya mulai melakukan relokasi ke daerah Ngawi untuk mendapatkan buruh dengan upah rendah.

Ketiga, jaminan upah murah dan terprediksi. Dengan adanya PP tersebut pemilik modal diberikan kemudahan untuk memprediksi dalam berinvestasi (forcasting). Sebagai contoh :Pemerintah membuat Kawasan Industri Kendal (KIK) pada tahap pertama dengan total lahan seluas 860 hektar yang diperkirakan akan selesai dalam waktu 5 tahun.Pembangunan tahap pertama tersebut diprediksi menyerap 500.000 tenaga kerja.

Bahkan mulai Agustus 2016 ini sudah ada pabrik yang beroperasi yaitu PT. Tat Wai Industries dari Singapura. Bisa kita lihat jaminan upah murah dan terprediksi dari pembangunan KIK ini jika dikaitkan dengan PP 78/2015. UMK tahun 2017 Kab. Kendal sebesar Rp 1.639.600, jika kita asumsikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi pertahun rata-rata 10%.

Maka saat kawasan industri Kendal selesai (perkiraan tahun 2021) UMK Kab. Kendal jika dihitung berdasarkan rumus PP No.78/2015 hanya sebesar 2.400.538 rupiah. Very cheap and predictable. Menurut informasi pihak pengembang yaitu PT Jababeka, kawasan tersebut merupakan tempat yang strategis untuk berinvestasi karena dekat dengan bandara, pelabuhan dan pusat administratif. Sudah bisa dipastikan banyak perusahaan yang akan berpindah/mendirikan sub pabrik di kawasan tersebut. Pemilik modal bisa mendapatkan upah murah karena merelokasi buruh ke daerah ber-UMK rendah.

Padahal perusahaan tersebut menjual hasil produksinya dengan menghitung biaya upah dengan jumlah UMR daerah Bekasi misalnya. Dapat dilihat bahwa kebijakan ini merupakan hasil dari rezim pemerintahan yang menghamba pada pemilik modal.

Selalu ada hikmah di balik musibah. Mungkin kalimat ini cocok untuk menggambarkan peluang gerakan buruh setelah adanya PP pengupahan. Bagi gerakan buruh bila bisa menangkap peluang maka bisa menggunakan momentum penolakan terhadap PP pengupahan untuk mengkonsolidasikan dan memperkuat gerakan buruh. Pasalnya dengan adanya PP pengupahan tidak akan ada lagi elit serikat buruh yang mampu berlindung. Dan mau tidak mau seluruh serikat buruh karena dorongan dari bawah ataupun gengsi pasti melakukan aksi penolakan. Bahkan serikat buruh peninggalan Orde Baru yang reformis-pun dalam situasi seperti ini terpaksa melakukan aksi massa.

Hal tersebut baik untuk mendorong kesadaran massa bahwa aksi massa penting dilakukan. Selain PP No.78/2015, pemilik modal bisa mendapatkan buruh dengan upah murah menggunakan kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel. Kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel di Indonesia diberlakukan setelah disahkan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Sesuai dengan namanya, dalam kebijakan tenaga kerja fleksibel perusahaan bisa dengan mudah mengangkat dan memberhentikan buruhnya sesuai dengan kebutuhan produksi. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut pasar tenaga kerja fleksibel tercantum sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu serta Alih Daya.

Untuk memudahkan kita sering menyebutkannya dengan sistem kerja kontrak, dan outsourcing. Lebih parahnya lagi sekarang muncul sistem baru yang digunakan yaitu sistem magang. Baik dalam sistem kontrak, outsourcing, maupun magang memiliki kesamaan yaitu buruh tidak mendapat jaminan kerja.

Dengan sistem tersebut buruh dianggap oleh pengusaha tak ubahnya barang komoditas. Buruh bisa diperjual belikan layaknya barang dagangan. Tentu saja ini bertentangan dengan hakikat kemanusiaan. Buruh tidak lagi dianggap sebagai manusia yang berhak mendapat penghidupan yang layak, jaminan rasa aman, dan kebebasan berinteraksi dengan manusia lain. Serba ketidak pastian yang terjadi membuat buruh kontrak/os/magang selalu dihantui rasa takut akan keberlangsungan kerjanya. Setiap hari baik fisik maupun pikiran tidak pernah lepas dari kegelisahan. Hidup dalam kondisi yang tidak menentu tentu saja tidak nyaman. Setiap hari secara psikis buruh mendapatkan tekanan yang luar biasa. Apakah esok kontrak diperpanjang? Apakah yang buruh OS bisa mendapatkan kontrak? Apakah setelah magang akan diangkat menjadi kartap sesuai janji manis di awal? Semuanya dalam kondisi serba ketidak pastian membuat buruh tercerabut dari kehidupan bermasyarakat.(*)

Pos terkait