Outsourcing, Kontrak, dan Honorer Berjuang Sendiri. Minim Dukungan Karyawan Tetap?

Foto: Eddo Dos'Santoz

Jakarta, KPonline – Dimanakah nurani dan solidaritas yang kau banggakan, wahai para aktivis dan pimpinan buruh ?

Siang kemarin saya di telpon oleh seorang pengurus serikat pekerja yang kebetulan anggotanya adalah para pekerja outsourcing di sebuah perusahaan pelabuhan di Jakarta Utara. Dia minta saya untuk bertemu untuk berdiskusi tentang bagaimana perjuangan buruh-buruh outsourcing ke depan.

Bacaan Lainnya

Ada satu kalimat yang saya ingat dalam pembicaraan setengah jam via telpon tersebut:

Posisi kami para pekerja outsourcing, pada posisi yang dilematis bang. Perjuangan kami bukan hanya berhadapan dengan manajemen perusahaan. Kami juga harus “berhadapan” dengan para pengurus serikat pekerja di perusahaan induk/pemberi kerja.

Serikat pekerja di perusahaan induk tempat kami bekerja tidak mempunyai kepedulian sama sekali pada nasib kami. Mereka bahkan tidak mempunyai beban perasaan, ketika dalam penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), membedakan grade/gap yang timpang dari sisi kesejahteraan antara pekerja tetap dengan pekerja kontrak/outsourcing.

Mereka para pengurus serikat pekerja di perusahaan induk tempat kami bekerja, membiarkan kami berjuang sendiri membebaskan diri dari penjajahan gaya baru berkedok oustourcing. Seolah mereka tidak rela jika kami menjadi karyawan tetap, menikmati fasilitas dan hidup lebih baik seperti mereka.

Hanya satu pertanyaan kami. Dimanakah nuranimu dan solidaritas yang selalu kau gaungkan?

Pertanyaan tersebut menjadi PR besar bagi kita semua, sebagai aktivis buruh. Terutama para pimpinan buruh untuk bagaimana membangun kembali semangat solidaritas sosial dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Karena tak akan ada keadilan sosial tanpa solidaritas sosial.

Masalah outsourcing, selain lemahnya solidaritas perjuangan yang kita lakukan, juga karena aturan dalam Permen Nomor 19 Tahun 2012 yang mudah dipermainkan oleh perusahaan dan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah. Bahkan perusahaan-perusahaan plat merah (BUMN), bukan menjadi contoh yang baik dalam penegakkan hukum. Mereka malah banyak yang menjadi contoh buruk dengan terang terangan melanggar aturan ketenagakerjaan yang ada.

Sore harinya, menjelang Magrib, saya yang sedang diskusi dengan beberapa pengurus, kedatangan 2 orang guru honorer. Satu diantaranya sudah mengabdi menjadi guru honorer hampir 30 tahun dan sebentar lagi akan memasuki pensiun yang membuat nasib para honorer makin tak karuan. Karena tak akan ada yang namanya uang pensiun bulanan yang di terima atau pesangon yang diterima seperti para buruh di perusahaan jasa atau industri.

Masalah yang dialami oleh para honorer, selain karena zhalimnya pemerintah terhadap jutaan honorer selama berpuluh puluh tahun, juga dikarenakan perjuangan dan perlawanannya kurang mendapatkan dukungan penuh dari mereka yang sudah berstatus sebagai PNS.

Para PNS kurang mensupport perjuangan para honorer yang sangat menderita karena harus bekerja dengan status kerja yang tidak jelas juga dengan gaji hanya 300 ribu – 1 jutaan. Hanya di sebagian kecil daerah yang mendapatkan gaji setara upah minimum yang berlaku.

Pertanyaannya, mengapa para PNS tidak mau mendukung perjuangan para guru dan pekerja honorer menuntut diangkat menjadi PNS ?
Dimanakah kepedulian dan tanggung jawabmu wahai para PNS? Mengapa kau biarkan para honorer berjuang sendiri ?

Grebek Pabrik 

Sekitar tahun 2012, teman-teman buruh lintas organisasi melakukan satu perjuangan yang luar biasa dalam memperjuangkan diangkatnya para buruh kontrak dan outsourcing melalui perjuangan bersama yang disebut dengan “Grebek Pabrik” di Bekasi dan sekitarnya.

Sebagian buruh yang ikut aksi/demo tidak sedang memperjuangkan nasibnya. Merek aksi dalam rangka bersolidaritas atas nasib rekan-rekan kerja dan juga anggotanya yang teraniaya oleh perusahaan dan dibiarkan oleh pemerintah daerah.

Grebek pabrik lahir dari sebuah solidaritas dan tanggung jawab bersama para buruh dan juga karena kemarahan pada pemerintah yang membiarkan manajemen perusahaan melanggar aturan kerja outsourcing dan juga kontrak dengan tidak mengangkatnya menjadi pekerja tetap selama bertahun tahun.

Perjuangan tersebut membuahkan hasil yang luar biasa. Dimana lebih dari 30 ribu pekerja diangkat menjadi pekerja tetap.

Karenanya menjadi PR kita semua untuk kembali menghidupkan semangat berjuang bersama sama wujudkan keadilan sosial.

Selama ini dalam berjuang, kita masih mementingkan dan hanya memikirkan nasib kita dan anggota kita saja. Solidaritas yang kita gaungkan masih sangat sempit dan pada ruang yang terbatas.

Kamu dan saya seharusnya sadar, bahwa membiarkan para pekerja outsourcing, kontrak, magang dan honorer, bukan saja kita akan masuk dalam golongan para pendusta agama, juga akan membuat daya tawar gerakan menjadi lemah.

Secara perlahan jumlah pekerja outsourcing, kontrak, dan honorer di divisimu bekerja sudah mayoritas diisi oleh mereka. Kamu membiarkannya dengan tidak membantu perjuangannya. Dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh FSPMI dan Akatiga, jumlah pekerja outsoursing dan kontrak mencapai hampir 70%.

Satu saat serikatmu yang anggotanya sudah tidak mayoritas kemudian melakukan negoisasi dan mogok, maka jangan heran manajemen tidak akan merespon. Karena tanpamu bekerja, masih ada para pekerja outsoursing, kontrak, magang, dan honorer yang akan menggantikanmu bekerja di mesin-mesin yang biasa kau operasikan, atau di meja-meja yang biasa kau tempati untuk bekerja.

Maka dari itu, bergeraklah wahai para pejuang yang merindukan keadilan dan kejayaan.

Tahukah kamu? Setiap surat protes yang kau layangkan ke manajemen memprotes penerapan praktek kerja outsourcing, kontrak, magang, dan honorer yang tidak sesuai dengan Undang-Undang atau Undang-Undang Dasar 1945 telah membuat manajemen pusing 7 keliling. Apalagi jika surat yang dilayangkan bisa mencapai 1000 surat solidaritas atau bahkan 100 ribu surat protes yang masuk dan juga di publish ke sosial media.

Insya Allah selalu ada harapan dan kemenangan dibalik setiap kesulitan. Solidaritas sosial atau kepedulian sosial dalam berbagai literatur kajian sosiologi, menjadi salah satu syarat kemenangan dan kejayaan.

Mari kita jemput kejayaan, kemenangan dan kesejahteraan dengan memperkuat semangat solidaritas sosial di setiap dada dan jiwa kita. Kita yang harus memulainya terlebih dahulu.

Foto: Eddo Dos’Santoz

Baca artikel lain yang ditulis Muhamad Rusdi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. BUMN harus nya menjadi contoh baik dalam penegakan outsourcing,, bukan sebaliknya