Purwakarta, KPonline – Mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya adalah mengundang pelaku usaha untuk melakukan investasi. Menurut World Bank atau Bank Dunia, ada beberapa faktor yang dapat menghambat dan mempengaruhi investasi, seperti; Korupsi, Birokrasi, Perpajakan, Infrastuktur serta lain-lain dan buruh masuk dalam urutan kedelapan, itupun bukan dalam hal upah, akan tetapi adalah hal mengenai etos kerja.
Kemudian dalam pelaksanannya pada saat ini, pemerintah begitu ngotot untuk melakukan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja melalui Omnibus Law. Padahal, buruh bukanlah menjadi faktor utama dalam hal yang bisa menghambat investasi. Bahkan dalam perumusan draf RUU tersebut, ternyata buruh tidak dilibatkan secara langsung.
“Jangan investasi masuk ke kita, tetapi mengorbankan hak-hak pekerja atau buruh,” tegas Obon Tabroni selaku anggota Komisi IX DPR-RI di Kantor Konsulat Cabang FSPMI Kab. purwakarta. Rabu (29/1).
Perlu diketahui, bukan kali ini saja pemerintah melakukan upaya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi. Diakhir 2015, pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah nomor. 78 tahun 2015 tentang pengupahan (PP78/2015).
Kenyataan, setelah PP tersebut terbentuk, mekanisme sistem pengupahan tidak lebih baik dari peraturan atau perundang-undangan sebelumnya, dimana hanya menggunakan acuan angka persentase saja dan tidak melihat nilai kebutuhan hidup sebenarnya melalui survey kebutuhan hidup layak dipasar. Selain daripada itu, peraturan pemerintah tersebut juga tidak mampu dalam menyerap tenaga kerja.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penyerapan tenaga kerja pada 2014, 2015 sebelum adanya PP 78/2015 tentang Pengupahan tercatat masing-masing mencapai 1,43 juta. Namun, setelah PP tersebut terbentuk, penyerapan tenaga kerja malah semakin berkurang. Untuk 2016 dan 2017 tercatat masing-masing hanya mencapai 1,39 juta dan 1,17 juta.
Menjaring investasi, Omnibus Law bukan solusi. Seharusnya pemerintah lebih mengedepankan rasa merakyat. Karena mereka dipilih oleh rakyat dan bukan hanya dipilih oleh segelintir golongan.
“Sosialisasi Omnibus law kepada rekan-rekan pekerja harus dilakukan. Karena diduga dampak dari program tersebut bisa merugikan kelas pekerja atau kaum buruh,” imbuh Obon Tabroni.
Kalau memang benar program tersebut dibuat, dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Seharusnya Pemerintah meminta saran dan masukan terlebih dahulu serta melibatkan semua pihak dalam perumusannya. Kemudian pada akhirnya tidak ada yang dirugikan, bila Rancangan Undang-Undang tersebut disahkan dan diberlakukan. Sehingga sesuai amanah Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan; “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Upah perjam bisa merugikan, karena upah minimum akan hilang. Belum lagi pesangon yang nilainya akan dikurangi atau bahkan dihilangkan, kembali merupakan hal yang sangat merugikan bagi kelas pekerja. Dan akibat dari hal itu, kemudian hal tersebut masuk ke dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, kepastian hidup layak menurut Undang-Undang 1945 tidak mampu dihadirkan oleh pemerintah untuk rakyatnya.