Membongkar Kebohongan Pemerintah Terkait PP Pengupahan

Foto: Willa F
Foto: Willa Faradian 

Jakarta, KPonline – Perjuangan menolak PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan terus berlanjut. Rabu (30/3/2016), ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPMI-KSPI) melakukan aksi unjuk rasa di Mahkamah Agung, mendesak agar peraturan pemerintah tersebut segera dicabut.

Adapun alasan buruh menolak PP No. 78 Tahun 2015 adalah sebagai berikut:

Bacaan Lainnya

PP No. 78 Tahun 2015 Melanggar Konstitusi.

Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 disebutkan, tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya, Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Dengan demikian, instrumen kehidupan yang layak adalah Kebutuhan Hidup Layak (KHL), bukan inflansi dan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang dimaksud dalam PP No. 78 Tahun 2015.

Sementara itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Dengan adanya formula kenaikan upah minimum sebesar inflansi dan pertumbuhan ekonomi, itu artinya kenaikan upah minimum tidak lagi ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Dengan demikian sudah sangat jelas, PP No. 78 Tahun 2015 melanggar konstitusi.

Serikat Pekerja Tidak Dilibatkan Dalam Kenaikan Upah Minimum

Keterlibatan serikat pekerja dalam menentukan kenaikan upah merupakan sesuatu yang sangat prinsip. Di seluruh dunia, kenaikan upah selalu melibatkan serikat pekerja, sesuai dengan Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Konvensi ILO No. 89 tentang Hak Berunding. Bahkan Konvensi ILO No. 131 tentang Upah Minimum telah mengatur keharusan adanya konsultasi antara Serikat Pekerja denagn organisasi Pengusaha dalam penetapan upah minimum. PP 78/2015 ini melanggar Konvensi ILO No. 131. Dengan menetapkan formula kenaikan upah sebatas inflansi + pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan Jokowi – JK telah merampas hak serikat pekerja untuk terlibat dalam menentukan kenaikan upah minimum.  

Upah Minimum di Indonesia Masih Menjadi Upah Standard

Berdasarkan data yang ada, diketahui bahwa jumlah pekerja/buruh yang mendapatkan upah lebih dari 2 juta hanya 15%. Sementara itu, sisanya, mendapatkan upah kurang dari 2 juta. Data itu menunjukkan, sebagian besar perusahaan, upah minimum digunakan sebagai upah maksimal.

Base on Upah di Indonesia Masih Rendah.

Jika dibandingkan dengan upah Negara-negara lain di ASEAN, upah di Indonesia masih terbilang lebih rendah. Berdasarkan Laporan Trend Sosial dan Ketenagakerjaan ILO 2014 – 2015 (halaman 28) yang diterbitkan resmi oleh Kantor Perburuhan ILO Indonesia – Jakarta, disebutkan, upah rata-rata di ASEAN sudah berkembang. Namun masih ada perbedaan besar. Sebagai contoh, pada tahun 2013, Republik Demokratik Laos memiliki upah rata-rata terendah di kawasan ini, yaitu USD 119. Sementara rata-rata pekerja di Singapura memperoleh upah sebesar USD 3,547 perbulan. Di antara kedua negara dengan tingkat perbedaan yang sangat besar ini, ada Kamboja (USD 121), Indonesia (174), Vietnam (USD 181), Filipina (USD 206), Thailand (USD 357), dan Malaysia (USD 609). Perbedaan besar dalam hal upah rata-rata antara negara-negara anggota ASEAN ini menujukkan adanya perbedaan besar dalam hal produktivitas pekerja – nilai tambah per pekerja, atau per jam kerja – serta kemampuan lembaga penetapan upah untuk mendukung perundingan bersama. Meskipun ini adalah data tahun 2013, tetapi hingga saat ini data tersebut tidak berbeda jauh.

PP No. 78 Tahun 2015 Cermin Kerakusan Para Pengusaha

Pengusaha sudah mendapatkan berbagai kemudahan dan fasilitas dalam Paket Ekonomi Jilid I – VI. Harga listrik untuk industri diturunkan, gas diturunkan, solar diturunkan, bahkan diberikan insentif. Semua kebijakan itu pro kepada pemodal. Tetapi giliran untuk buruh, justru semakin ditekan dan dilemahkan.

Beberapa Kebohongan Terkait PP No. 78 Tahun 2015

Pemerintah mengatakan, serikat pekerja masih memiliki hak untuk berunding di perusahaan guna menentukan struktur dan skala upah. Pernyataan ini bohong. Faktanya, sedikit sekali perusahaan yang bersedia merundingkan struktur dan skala upah.

Pemerintah mengatakan KHL akan naik setiap 5 (lima) tahun sekali. Pernyataan ini merupakan pembohohan. Apa fungsinya ada KHL jika formula kenaikan upah sudah ditetapkan berdasakan inflansi dan pertumbuhan ekonomi?

Pemerintah mengatakan, PP No. 78 Tahun 2015 memberikan kemudahan bagi buruh. Apabila sakit, upahnya tetap dibayar. Pernyataan ini ngawur dan menyesatkan, karena seolah-olah upah buruh yang sakit tetap dibayar karena ada , PP No. 78 Tahun 2015. Sejak dulu, upah buruh yang sakit tetap dibayar, karena diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003. Jadi tidak ada yang baru dari PP No. 78 Tahun 2015. Justru PP No. 8 Tahun 1981 masih lebih baik, karena upah buruh yang haid di hari pertama dan kedua tetap dibayar, sedang dalam PP yang baru justru dihilangkan.

Pemerintah mengatakan,PP No. 78 Tahun 2015 memberikan kepastian. Pertanyaan kita, yang dibutuhkan kepastian atau kesejahteraan? Tentu saja, kita menginginkan kedua-duanya. Tetapi PP No. 78 Tahun 2015 justru semakin menjauhkan buruh dari kesejahteraan. PP No. 78 Tahun 2015 hanya untuk memastikan upah tetap murah. (*)

Pos terkait