Membaca Bung Iqbal

Bogor, KPonline, – Saat masih duduk di bangku SMP sekitar tahun 1994-1997, saya sudah suka membaca surat kabar. Di masa mendekati senja orde baru itu, sudah mulai banyak berita tentang dunia pergerakan. Salah satunya adalah gerakan buruh.

Saat itu hanya ada satu serikat pekerja yang diakui pemerintah, namanya SPSI. Namun yang sering muncul di koran yang saya baca, tak dikenal nama ketua SPSI. Yang sering muncul justru nama-nama aktivis buruh yang tidak disukai orde baru.

Bacaan Lainnya

Saya jadi tahu nama Muhtar Pakpahan, Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari hingga Wiji Thukul. Gambar salah satu dari mereka saya gunting dari surat kabar dan ditempelkan dibalik lemari baju. Bersebelahan dengan poster Paolo Maldini yang juga didapat dari surat kabar mingguan Olahraga.

Tahun 1998 reformasi dan saya duduk di bangku STM. Masih suka memperhatikan jalan hidup selanjut tokoh-tokoh pergerakan yang dulu saya baca kisahnya di koran-koran.

Tahun 2001, saat bekerja di pabrik komponen otomotif yang beralamat di Jalan Jababeka Sebelas, baru saya bersentuhan langsung dengan dunia serikat pekerja.

Terbaca disana sebuah papan nama dengan tulisan “Ruang SPMI” Tapi ada rasa segan untuk masuk dan melihat-lihat ada apa di dalam sana.

Pertama kali diajak masuk kesana justru dua tahun kemudian. Bapak foreman kesulitan mencari ruang privat untuk mewawancarai saya yang sesaat lagi habis kontrak. Lalu saya dibawa masuk ke ruang sekretariat SPMI tersebut dan disanalah terucap kata, “kamu diangkat jadi karyawan tetap”.

Baru setelah jadi karyawan tetap dan SPMI berubah jadi FSPMI, saya memberanikan diri masuk dan duduk lama-lama di ruangan itu. Terlebih saat masuk malam, kadang saya datang lebih cepat. Yang paling menarik disana tak lain dan tak bukan karena ada surat kabar. Selain surat kabar harian, kemudian ada juga surat kabar bulanan terbitan FSPMI bernama Koran Perdjoeangan.

Nah! di Koran Perdjoeangan itulah saya mengenal nama Said Iqbal. Sudah pernah mendengar dari para pengurus serikat bahwa Said Iqbal adalah pimpinan tertinggi SPMI. Beliau karyawan di perusahaan elektronik. Namun dari Koran Perdjoeangan itulah saya mengenal lebih jauh bung yang satu ini.

Kenapa jadi lebih mengenal Iqbal?

Karena ia sering menulis di Koran Perdjoeangan itu. Dalam setiap terbitannya hampir pasti ada pemikiran-pemikiran Iqbal.

FSPMI dan Said Iqbal sendiri kemudian semakin dikenal. Sesekali namanya muncul di surat kabar nasional dan lokal Bekasi. Sementara itu nama-nama yang dulu saya kenal sebagai aktivis buruh justru mulai surut. FSPMI yang tidak dikenal saat orde baru, justru melesat pasca reformasi.

BPJS Kesehatan Dalam Pusaran Kekuasaan, sebuah buku yang ditulis oleh Said Iqbal dan Kahar S. Cahyono

Kenapa FSPMI meroket?

Menurut saya, salah satunya karena FSPMI lahir dari dalam. Aktivisnya memang berstatus sebagai pekerja yang benar-benar karyawan pabrik. Ini berbeda dengan serikat pekerja era orde baru, baik yang diakui pemerintah maupun yang tak diakui. Kebanyakan mereka dipimpin oleh “orang luar”. Ada advokat atau aktivis mahasiswa.

Selanjutnya, soal Iqbal. Memang ia bukanlah orang pertama di FSPMI, menurut catatan sejarah organisasi ini, ada nama Endang Thamrin dan yang lainnya sebagai pendiri. Namun peran Iqbal sangat besar. Gagasan di kepalanya tentang bagaimana membuat buruh sejahtera ia tuangkan di Koran Perdjoeangan itu.

Narasinya tidak banyak diisi dengan romantisme masa lalu. Ia tidak banyak mengutip Karl Marx, Engels atau Tan Malaka untuk mencekoki pemikiran buruh.

Iqbal juga tidak membawa FSPMI ke kiri melainkan ke tengah. Sesuai dengan karakter bangsa. Berketuhanan dan Nasionalisme. Firman Allah dan Sabda Rasulullah kerap mengiringi dan dijadikan pengingat.

Sejatinya, Iqbal yang bertitel insinyur bisa mendapatkan posisi menarik di perusahaan. Tetapi ia memilih meninggalkan zona nyaman tersebut untuk memimpin gerakan buruh. Ia juga kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia. Ia mengambil Magister Ekonomi.

Nah! Modal belajar ilmu ekonomi ini ia pergunakan untuk perjuangan buruh. Maka narasinya saat menulis di surat kabar maupun saat berbicara to the point penuh dengan bahasa ekonomi.

Tentang perjuangan upah layak, penghapusan outsourcing hingga jaminan kesehatan, semuanya ada tinjauan data.

Setelah belasan tahun, saya dipertemukan kembali dengan tulisan-tulisan lama Iqbal yang dirangkum dalam sebuah buku. Saya menemukannya di lemari sekretariat pekerja. Di tempat yang sama, Jalan Jababeka Sebelas.

Sudah banyak hal yang dilakukan Iqbal untuk buruh. Dari pabrik elektronika di Cibitung Bekasi hingga kantor ILO di Jenewa Swiss.

Kini, setelah dua puluh tahun lebih, ada satu tugas bung yang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan organisasi. Yaitu kaderisasi!

Selamat berjuang Bung Iqbal!

Dari pembaca gagasan dan penikmat perjuanganmu

Enjang Anwar Sanusi

Pos terkait