Mayday Terjepit di antara Omnibus Law dan Wabah COVID-19

Batam,KPonline – Mayday di tahun 2020 ini tidak akan sama dengan tahun-tahun lalu, bukan hanya karena adanya pandemik COVID-19 yang menyebabkan ruang gerak yang terbatas, namun juga tentang perjalanan RUU Omnibus Law yang terus dikebut di DPR. Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketu DPR Puan Maharani sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).

Penundaan dilakukan untuk memberikan ruang pemerintah dan DPR mendalami substansi pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah tenaga kerja hingga tengah fokus mengatasi pandemi virus corona.

Bacaan Lainnya

Kita patut menduga kepentingan pemodal dalam RUU tersebut juga kian kuat dengan bergulirnya usul mengganti nama Omnibus Law Ciptaker menjadi RUU Kemudahan Berusaha dan Investasi. Usul itu tercetus dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) DPR dengan unsur masyarakat

Masih dilangsungkannya RDPU menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah memilih mengabaikan partisipasi publik. Pada titik ini, semakin jelas bahwa RUU ini sejak awal berniat memberikan karpet merah bagi investasi

Tentu buruh memiliki haknya untuk menyalurkan aspirasi, terutama yang berkaitan dengan hak ketenagakerjaan dalam Omnibus Law ini

Di sisi lain Pandemi Covid-19 telah menyebabkan bencana bagi masyarakat global. Masalah kesehatan ini menimbulkan dampak domino di berbagai sektor kehidupan, termasuk masalah ketenagakerjaan. Kebijakan social distancing sebagai kunci dari pencegahan wabah yang ditempuh semua negara telah menghentikan sektor produksi dan distribusi barang secara global.

Kini, sektor industri tidak hanya telah merumahkan miliaran tenaga kerja, tetapi juga dihantui oleh PHK yang ditempuh guna mengatasi krisis. Bahkan, situasi lebih buruk mungkin terjadi, para ekonom memperkirakan dunia akan menghadapi situasi resesi ekonomi. Menurut prediksi OECD, pertumbuhan ekonomi dunia bisa anjlok hingga 1,5 % – 2,4%, disusul dengan potensi pertumbuhan minus di sejumlah negara.

Menurut catatan International Labour Organization (ILO), hampir 1,6 miliar pekerja informal dari total dua miliar di seluruh dunia dan tenaga kerja global 3,3 miliar terancam PHK. Sementara data Kementerian Tenaga Kerja per 20 April 2020 menunjukkan 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan yang telah dirumahkan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat imbas pandemi Corona.

Itulah gambaran kondisi ketenagakerjaan saat ini, jika pandemi ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, jumlah pekerja yang akan kehilangan pekerjaan akan jauh lebih banyak lagi.

Pariwisata dan berbagai industri penunjangnya seperti penerbangan dan hotel merupakan sektor yang paling dalam terdampak pandemi Covid-19 ini, semenjak pemerintah membatasi mobilitas penduduknya otomatis sektor ini telah terhantam hebat.

Kebijakan physical distancing yang diaplikasikan pemerintah lewat Pembatasan Sosial Berskala Besar, tampaknya akan menggerus sangat dalam ekonomi Indonesia, yang ujungnya tentu saja akan berdampak pada pasar kerja yang ada

Gelombang PHK yang terus terjadi dan tak terelakan akan membuat daya beli masyarakat menurun, akibatnya konsumsi barang pun akan menurun pula.

Kebijakan PSBB juga membuat keleluasan masyarakat untuk mengkonsumsi barang juga menurun. Akibatnya produksi barangpun turun dan akhirnya pendapatan perusahaan mengikuti arah penurunan ini, dan ujungnya perusahaan akan menurunkan biaya produksinya, termasuk melakukan PHK.

Untuk mencegah agar gelombang PHK tak berlangsung masif Pemerintah diharapkan bisa mengeluarkan berbagai stimulus. Diantaranya relaksasi PPh21, PPh 22, dan PPh 25 serta pembebasan PPN selama 6 bulan. Instrumen ini diberikan secara terbatas, terutama bagi industri yang paling terdampak dan menyasar UMKM dan sektor padat karya seperti manufaktur dan Pariwisata.

Restrukturisasi pembayaran dan bunga kredit, termasuk di dalamnya kelonggaran angsuran kepada UMKM dan driver transportasi online.

Beberapa hal memang sudah dilakukan oleh pemerintah, walaupun masih kita tunggu praktik di lapangannya , karena terkadang kebijakan diatas tak sesuai dengan kebijakan di tataran pelaksanaan.

Akhirnya kita berharap agar hari buruh tahun ini menjadi refleksi bagi kita semua bahwa bagaimanapun buruh adalah tulang punggung pergerakan ekonomi masyarakat karenanya nasib buruh merupakan kunci cepat dan tidaknya pertumbuhan ekonomi di suatu bangsa.

Pos terkait