Purwakarta, KPonline – Septia Dwi Pertiwi, mantan karyawan PT. Lima Sekawan yang dimiliki oleh Jhon LBF, menghadapi tuntutan pidana satu tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Kasus ini bermula dari kritik yang disampaikan Septia melalui media sosial terkait upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diterimanya saat bekerja di perusahaan tersebut.
Septia juga menyoroti sejumlah pelanggaran hak pekerja lainnya, seperti pemotongan gaji tanpa alasan jelas, pemecatan tanpa kompensasi, ketiadaan slip gaji, dan ancaman pemotongan gaji hingga Rp500 ribu jika terjadi kesalahan dalam pekerjaan. Keluhan ini ia sampaikan melalui akun Twitter @septiadp, yang kemudian memicu gugatan dari pihak perusahaan.
Jhon LBF, pengusaha yang sebelumnya dikenal dengan citra positif karena menawarkan gaji menarik bagi pekerjanya, menolak keras tuduhan tersebut. Ia menyebut telah memperlakukan karyawan dengan baik dan menilai bahwa Septia seharusnya menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan.
Kemudian, merasa dirugikan atas cuitan tersebut, Jhon LBF melaporkan Septia ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Jaksa Penuntut Umum menilai Septia bersalah, meskipun sejumlah organisasi hak asasi manusia dan pengamat hukum menganggap tuntutan ini tidak relevan.
Dalam perkembangan terbaru, Jhon LBF mengakui adanya pelanggaran hak pekerja di perusahaannya, termasuk pembayaran upah di bawah UMP dan tidak membayar uang lembur. Pengakuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai dasar laporan terhadap Septia, mengingat tuduhan yang disampaikan oleh mantan karyawannya memiliki dasar kebenaran.
Kasus ini mendapat perhatian luas, termasuk dari Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, yang secara terbuka mendukung Septia dan mengkritik tindakan Jhon LBF. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (ICJR) juga menilai tuntutan terhadap Septia tidak berdasar, mengingat cuitannya tidak menyebut nama Jhon LBF secara eksplisit.
Meski pada Oktober 2024 kedua belah pihak sempat mencapai kesepakatan damai di hadapan hakim, proses hukum tetap berjalan hingga tahap penuntutan. Kasus ini menyoroti pentingnya komunikasi yang baik antara pengusaha dan karyawan, serta perlunya mekanisme penyelesaian konflik yang adil dan transparan dalam lingkungan kerja.
Kasus ini menjadi pelajaran bagi masyarakat dan pemerintah untuk memperkuat perlindungan terhadap pekerja yang menyuarakan kondisi kerja mereka, sekaligus menjaga kebebasan berpendapat dalam koridor hukum yang adil.