Jamkeswatch Ingatkan Pemerintah Tak Persulit Pencairan JHT Buruh Saat kena PHK

Jakarta, KPonline – Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial secara nasional bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Dan Sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (2) huruf b dan Pasal 6 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 maka BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program JHT.

Bacaan Lainnya

Program JHT adalah manfaat uang tunai yang diberikan ketika Peserta memasuki usia tertentu, tidak ingin bekerja lagi, cacat total tetap sehingga tidak mampu bekerja kembali atau meninggal dunia (penjelasan atas peraturan pemerintah no.46 tahun 2015 tentang penyelenggaraan program jaminan hari tua).

“Program JHT yang dalam implementasinya sekarang masih dirasakan manfaatnya oleh pekerja, dimana aturan mengenai hal tersebut sebelumnya sudah ada dan jelas tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, beserta aturan pelaksanaanya.” jelas Direktur Advokasi dan Relawan Jamkeswatch Nasional, Daryus (2/11).

“Oleh karena itu dalam Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang JHT mempertimbangkan segala aspek termasuk manfaat yang sudah dirasakan oleh pekerja, yaitu seperti pada undang-undang no.3 tahun 1992 Pasal 15 yang mengamanatkan Jaminan Hari Tua dapat dibayarkan sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, setelah mencapai masa kepesertaan tertentu.” tambahnya.

“Yang dimaksud dengan masa kepesertaan tertentu adalah jangka waktu tenaga kerja telah mencapai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan Pembayaran Jaminan Hari Tua berdasarkan masa kepesertaan tertentu dapat diberikan kepada tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja.’ tambahnya lagi.

Lalu Daryus menambahkan, sudah menjadi kodrat, bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban menanggung kebutuhan keluarganya. Oleh karenanya, kesejahteraan yang perlu dikembangkan bukan hanya bagi tenaga kerja sendiri, tetapi juga bagi keluarganya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas, yang harus tetap terpelihara termasuk pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko sosial.

“Maka iuran JHT yang juga di bayarkan oleh Pekerja sebesar 2% dari upah semestinya dapat dimanfaatkan pekerja untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarga nya. Mengingat juga untuk memiliki dana cadangan, komponen tabungan pekerja dalam standar kebutuhan hidup layak ( KHL ) yang digunakan sebagai dasar perhitungan upah minimum pun sudah dialokasikan sebesar 2% tersebut.

Jika manfaat JHT baru bisa diambil pekerja saat mencapai usia 56 tahun, maka permasalahan pekerja kontrak yang tidak memperoleh pesangon dan keluarganya paska PHK akan menghadapi goncangan dan tekanan, mereka akan sulit memenuhi kebutuhan dasar dan menjalankan peranan sosial apalagi jika masih dibebani angsuran kredit (hutang) dan biaya pendidikan anak yang harus segera dibayar dan tidak dapat ditangguhkan sehingga sangat berpotensi menjadi permasalahan sosial baru.

Dan jika aturan revisi Permenaker UU 19 /2015 mengacu kepada konsep Negara maju terkait pencairan JHT bisa di cairkan ketika memasuki usia pensiun atau hari tua maka kami sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan berpendapat ketika regulasi terkait pencairan JHT mengadopsi aturan dari negara – negara maju maka sebelum menggunakan konsep tersebut samakan dulu konsep kenaikan upah dan standart upah minimum di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Menilik JKP , pesangon PHK benar-benar dipangkas, pemerintah memperbarui aturan pesangon dalam Undang-undang Cipta Kerja serta turunannya dengan janji ada pemanis. Jaminan kehilangan pekerjaan yang di gadang – gadang melindungi pekerja malah menjadi lubang baru bagi pekerja terjatuh. Dengan proses klaim yang sangat sulit jaminan kehilangan pekerjaan juga hanya memberikan uang tunai sebesar 45% dari upah untuk tiga bulan pertama, dan 25 % dari upah untuk tiga bulan berikutnya , PP JKP dan permenaker JKP hanya menentukan batas atas upah penerima manfaat uang tunai, namun tidak menentukan batas minimal upah, besar kemungkinan menurunkan kualitas hidup bagi pekerja.” papar Daryus.

“Maka program pemanis ini pun tidak relevan untuk di jadikan pelindung saat pekerja dan keluarganya paska PHK. Tenaga kerja yang di PHK merupakan sumber daya manusia yang potensial, mereka adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan dan pengalaman kerja yang cukup.” ujarnya lagi.

“Program perlindungan yang seharusnya diperlukan adalah program pemberdayaan sosial paska PHK dengan tetap memperhatikan kebutuhan dasar pekerja dan keluarga nya. Oleh sebab itu sudah seharusnya pemerintah lewat BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan penyelenggara jaminan sosial ketengakerjaan harus memperhatikan betul situasi dan kondisi pekerja atau buruh setelah di PHK maupun habis masa kontraknya janganlah di tambahkan/revisi regulasi yang menurut kami makin mempersulit kondisi pekerja atau buruh setelah di PHK.” pungkasnya.

(Dir/Jim).

Pos terkait