Hapus Outsourcing: Antara Tipu Daya dan Kemunafikan

Hapus Outsourcing: Antara Tipu Daya dan Kemunafikan

Purwakarta, KPonline-Isu outsourcing kembali mencuat dalam perayaan hari ulang tahun ke-26 FSPMI. Padahal di pilpres 2019, FSPMI lakukan kontrak politik dengan Prabowo Subianto, lewat “Sepuluh Tuntutan Rakyat” (SEPULTURA). Dimana, hapus Outsourcing menjadi salah satu poin dalam kontrak politik tersebut.

Namun, Paslon yang sebelumnya menjanjikan penghapusan outsourcing dalam kampanye politik tersebut, kini setelah menjadi Presiden, dinilai belum dapat memberikan kepastian penghapusan outsourcing.

Bacaan Lainnya

Dan dengan janji manis yang tak kunjung terwujud sejak lama itu, Hingga kini, membuat buruh FSPMI terus menuntut penghapusan outsourcing.

Outsourcing sering dikaitkan dengan ketidakpastian kerja, upah rendah, serta minimnya perlindungan tenaga kerja. Dan hingga saat ini, praktik outsourcing masih marak terjadi, bahkan dalam sektor-sektor yang sebenarnya tidak memerlukan tenaga kerja kontrak.

Pemerintah berulang kali mengklaim telah berupaya memperketat regulasi terkait outsourcing. Namun, faktanya, banyak perusahaan masih menggunakan sistem ini dengan berbagai celah hukum. Kaum buruh menilai bahwa janji penghapusan outsourcing hanya menjadi alat politik untuk menarik simpati publik, tanpa keseriusan untuk benar-benar direalisasikan.

Di sisi lain, pengusaha berdalih bahwa sistem outsourcing memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan tenaga kerja. Bagi pengusaha, sistem ini adalah solusi untuk mengurangi biaya operasional serta menghindari beban administratif yang lebih besar.

Menurut kalangan pengusaha, jika outsourcing dihapuskan, banyak perusahaan akan kesulitan mempertahankan bisnisnya. Efisiensi operasional tetap menjadi prioritas.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak perusahaan justru menggunakan outsourcing sebagai cara untuk menghindari kewajiban memberikan hak-hak pekerja, seperti tunjangan, jaminan sosial, dan kepastian kerja.

Ironisnya, pemerintah sendiri masih menggunakan sistem outsourcing dalam berbagai instansi. Di banyak lembaga pemerintahan, tenaga kerja honorer atau kontrak masih menjadi tulang punggung operasional, padahal regulasi mengisyaratkan perlunya penghapusan sistem ini.

Ketidakkonsistenan ini tentu menimbulkan pertanyaan: apakah penghapusan outsourcing benar-benar akan terjadi, atau hanya sekadar retorika politik? Jika benar ingin melindungi tenaga kerja, seharusnya pemerintah Prabowo Subianto lebih tegas dalam menerapkan kebijakan, bukan sekadar bermain kata di hadapan publik.

Selama belum dihapus, debat mengenai penghapusan outsourcing pasti akan terus berlanjut. Di satu sisi, buruh menuntut kepastian dan keadilan, sementara pengusaha mengedepankan efisiensi. Sementara itu, pemerintah terjebak dalam retorika dan inkonsistensi kebijakan.

Jika tidak ada langkah konkret, isu ini hanya akan menjadi permainan kata tanpa perubahan nyata. Pada akhirnya, pekerja tetap menjadi korban dari sistem yang penuh tipu daya dan kemunafikan ini.

Foto: Fajar Setiady, Kabiro Media Perdjoeangan Daerah Purwakarta

Pos terkait