Fatamorgana Divestasi 51% Saham Freeport

Lokasi tambang PT Freeport Indonesia di Papua (Foto: Reuters)

Oleh: Ferdinand Hutahaean*)

Entah harus harus bersyukur atau sedih, saya pun bingung untuk merespons keberhasilan Pemerintah dalam negosiasi dengan PT Freeport Indonesia terhadap kelangsungan kontrak operasional PT Freeport Indonesia di Papua. Bersyukur karena setidaknya ada kata keberhasilan dalam negosiasi itu. Namun sekaligus sedih karena keberhasilan itu entah untuk siapa dan apakah sesungguhnya negosiasi itu layak disebut keberhasilan atau cuma akal-akalan, masih butuh pembuktian lebih jauh ke depan.

Bacaan Lainnya

Marilah kita mengurai realitas dari apa yang disebut pemerintah sebagai keberhasilan itu dan bahkan sudah diberitakan luar biasa seolah-olah pemerintah inilah pemerintah super yang mampu mengalahkan Amerika, meskipun Freeport itu bukanlah mewakili Amerika. Tapi sudahlah, memang saat ini pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi butuh banyak berita positif untuk menutupi sebegitu banyak kerja negatif dan menutupi kegagalan di banyak sektor.

Pertanyaan yang harus dijawab jujur adalah apakah benar divestasi saham 51% itu akan membawa pemerintah dan negara berdaulat di Freeport? Jawabannya tentu benar. Kita akan punya pengaruh kuat dan akan mengendalikan operasional Freeport sebagai pemegang saham mayoritas.

Akan tetapi, jangan lupa, tetapinya ini yang bikin tidak enak situasi. Itu hanya akan terjadi jika yang membeli divestasi saham itu adalah Pemerintah dengan menggunakan dana APBN.

Mungkinkah pemerintah akan mampu membeli divestasi saham tersebut?

Mari kita ulas perlahan supaya Fatamorgana ini tidak membuat kita mati kehausan.

Bila mengikuti keadaan Pemerintah saat ini, dan dari beberapa pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, jelas APBN kita tidak akan mampu membeli divestasi 51% saham itu, yang diperkirakan nilai harga pasarnya di kisaran 8 Miliar Dolar Amerika atau sekitar 100 Trilliun Rupiah. Dari mana pemerintah akan mencari dana sebesar itu? Mendanai Proyek LRT saja yang masih butuh dana sekitar 5 Trilliun Rupiah harus terseok-seok bahkan dengan menutup telinga dari protes publik, pemerintah nekad menyenggol-nyenggol Dana Haji.

Lantas siapa yang akan membeli divestasi saham tersebut? Inipun menjadi misteri yang penuh selubung kepentingan mengingat Pilpres 2019 sudah di depan mata. Akankah ada permainan patgulipat seperti divestasi saham pertama Freeport sebesar 10% di era Orde Baru terulang? Ataukah mungkin terjadi hal yang sama terhadap Newmont Nusa Tenggara yang kini dimiliki oleh swasta dan bukan negara? Bahkan saham pemerintah yang 7% di NNT itupun entah di mana kini.

Inilah fatamorgana divestasi saham itu. Sarat dengan kepentingan tapi entah kepentingan siapa. Mari jujur dan terbuka, jangan berikan publik harapan semu dengan kalimat dan bahasa-bahasa hiperbolik.

Bisa jadi nanti divestasi itu akan diambil oleh swasta dengan mengandalkan pinjaman dari luar seperti China. Itu sama saja lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau. Atau bisa saja nanti terjadi insider trading, pura-pura diambil swasta tapi di baliknya adalah tetap Freeport. Jika ini terjadi maka hanya makelar yang dapat untung. Siapa makelar sesungguhnya yang paling depan? Tentu yang sedang berkuasa.

Belum lagi kalau harus bertanya mekanisme dan jangka waktu pelaksanaan divestasi itu, maka akan makin ruwet urusannya. Divestasi saham tahap kedua sebesar 10% tahun lalu saja hingga kini tidak jelas rimbanya siapa yang mau beli dan apakah akan dibeli. Bayangkan jika hal yang sama terjadi terhadap divestasi 51% saham itu, tidak ketemu titik negosiasinya, maka niscaya divestasi itu cuma mimpi belaka. Khayalan para pemimpi yang bisa dijadikan bergaining sokongan dana politik 2019. Di situlah Saya jadi bingung, karena sesungguhnya divestasi ini ibarat kita membeli milik kita sendiri.

Lantas bagaimana seharusnya supaya kita tidak menikmati tipuan fatamorgana? Ini pertanyaan menarik supaya para penikmat fatamorgana itu tidak menuduh saya hanya nyinyir saja. Sebetulnya cara ini sudah pernah saya sampaikan di depan publik, tapi mungkin tidak menarik bagi penguasa karena akan kecil celah bermain mendapatkan hasil untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok.

Saham 51% itu sesungguhnya bisa kita dapat atau miliki secara gratis. Tapi kita butuh pemimpin atau presiden yang benar-benar tegas dan benar-benar berani, bukan yang pura-pura tegas atau pura-pura berani.

Caranya bagaimana? Pertama, nyatakan dari sekarang kontrak Freeport Indonesia berakhir atau diakhiri serta tidak diperpanjang setelah berakhir pada tahun 2021. Dengan demikian, seluruh aset dan cadangan tambang Freeport kembali 100% ke Indonesia. Catat 100% nya bukan cuma 51%, gratis dan tidak perlu bayar. Kedua, umumkan terbuka tender internasional untuk pengelolaan tambang Freeport dengan syarat membentuk perusahaan baru antara pemerintah Republik Indonesia dengan operator dalam bentuk Joint Venture dimana saham Indonesia 51% dan operator 49%. Artinya, Indonesia dapat saham gratis 51%. Tender ini kemudian mengikuti syarat-syarat pajak dan bagi hasil. Mudah bukan? Tidak perlu ruwet dan memunculkan fatamorgana yang akan membuat kita mati kehausan.

Itulah yang membuat saya sedih dengan cerita dan berita klaim kesuksesan pemerintah dalam negosiasi ini. Belum lagi persoalan smelter yang tidak kunjung sepakat dimana lokasinya, apakah di Papua atau di Jawa (Gresik). Semua fatamorgana. Seolah-olah mata air ternyata hanya fatamorgana. Akhirnya kita mati kehausan.

Terakhir sebagai penutup, jika kita harus membayar Rp100 Trilliun untuk divestasi yang hanya menghasilkan deviden tidak lebih dari 1 Trilliun per tahun, lebih baik dana sebesar itu ditempatkan di pasar uang dengan bunga 2% per tahun, kita sudah dapat 2 Trilliun setiap tahun.

Mengerti kan mengapa berita heboh divestasi itu saya sebut fatamorgana? Mari bijak bernegara, jangan bekerja untuk pencitraan.

Jakarta, 30 Agustus 2017

*)Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *